News - Berpikir positif sering menjadi seruan wajib untuk seseorang yang mengalami keterpurukan jiwa akibat merasa takut, cemas, khawatir, sedih, kurang percaya diri, dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Seruan itu kadang terdengar membosankan atau bahkan menyebalkan. Karena, dalam emosi kekecewaan atau kesedihan, disarankan untuk tetap berpikir positif menjadi sekedar ilusi, bahkan bualan semata.

Memang, berpikir positif akan berdampak positif. Sudah banyak penelitian membuktikan hal itu. Sebuah studi meta-analisis terhadap 300 studi selama lebih dari 30 tahun menemukan bahwa berpikir positif dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Sedangkan riset yang dilakukan para peneliti di Kings College, London, menyimpulkan bahwa berpikir positif (dengan visualisasi dan self-talk) dapat mengurangi kecemasan.

Fakta lainnya, tim peneliti di John Hopkins yang dipimpin Lisa R. Yanek, MPH menemukan, orang dengan riwayat keluarga penyakit jantung yang memelihara pikiran positif memiliki sepertiga lebih kecil kemungkinan untuk mengalami serangan jantung atau kejadian kardiovaskular lainnya dalam lima hingga 25 tahun ketimbang orang yang berpandangan negatif.

Setengah Isi atau Setengah Kosong?

Pertanyaan di atas biasanya diajukan untuk mendeteksi apakah pikiran kita positif atau negatif. Kita diperlihatkan dengan sebuah gelas yang berisi air setengah dan diminta untuk menjawabnya. Jawaban “setengah kosong” menunjukkan pikiran yang negatif, dan vice versa, “setengah isi” menunjukkan pikiran positif.

Jadi dapat diartikan, berpikir positif adalah proses berpikir dalam menghadapi sebuah masalah dengan fokus pada hal positif. Diharapkan, energi yang keluar dari berpikir positif ini akan menghasilkan pemikiran dan sikap yang baik sehingga mudah mencari solusi atas masalah tersebut.

Tentu gelas berisi air setengah itu hanyalah sebuah analogi. Masalah sebenarnya akan jauh lebih berat untuk dijalani. Ketika kita sedang terpuruk gegara kena PHK, sementara kita adalah tulang punggung keluarga, tentu tidak bisa langsung menyikapi situasi tersebut sebagai “gelas setengah isi”.

Jika kita dipaksa untuk mencoba berpikir positif atas kejadian tersebut, maka yang terjadi adalah kita terpaksa menimpa (bukan mengalihkan) pikiran negatif kita dengan pikiran positif. Akibatnya justru berpotensi memunculkan konflik batin.