News - Australia mengambil langkah progresif dengan mengeluarkan biomassa hasil hutan dari daftar energi terbarukan. Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya, membuka biomassa Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk pembakaran bersama (co-firing) batu bara.

Pada 16 Desember 2022, beberapa hari jelang perayaan Natal, pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Anthony Albaneese, mengumumkan bahwa pemanfaatan biomassa yang diproduksi hutan alam resmi tak lagi masuk di Target Energi Terbarukan.

Keputusan itu termaktub dalam revisi Peraturan Pemerintah Federal tahun 2001 tentang Energi Terbarukan (Kelistrikan), di mana biomassa dari hutan alam tak lagi bisa dipakai atau dihitung dalam sertifikasi pembangkitan listrik skala besar berbasis energi terbarukan.

“Kami telah mendengarkan suara komunitas dan bertindak untuk mengatasi keprihatinan mereka,” tutur Menteri Energi dan Perubahan Iklim Chris Bowen yang memimpin program pengendalian iklim dan transisi energi di Australia, dalam pernyataan resminya.

Australia dikenal sangat konservatif dalam kebijakan konservasi hutan, dengan melarang alih-fungsi hutan alam (native forest) menjadi perkebunan. Pelarangan ini bersifat nasional sehingga porsi hutan industri hanya 2% dari total hutan yang dimiliki seluas 125 juta hektare.

Di bawah kepemimpinan Partai Buruh, Australia menjadi negara pertama di antara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) yang menolak penggunaan biomassa hasil hutan alam dalam transisi energi terbarukan.

Sepekan setelah pengumuman Australia, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) merilis proyek perintisan “Kemitraan Pengusahaan Biomassa dan Batu Bara Sumatra Selatan” yang diluncurkan Deputi Bidang koordinasi Pengelolaan Hutan dan Lingkungan Kemenkomarves Nani Hendiarti.

“Kegiatan yang kami lakukan ini adalah berkat dukungan dari semua pihak, termasuk dari sektor swasta. Dari pertemuan COP26 UNFCCC di Glasglow kemarin, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca, salah satunya dengan pressing down batu bara,” tutur Nani dalam keterangan resmi di Jakarta, pada Jumat (23/12/2022).

Sama-sama berupaya menjalankan transisi energi dan mengurangi efek rumah kaca, Indonesia memperlakukan biomassa (berbasis HTE) bertolak-belakang dari Australia, yang membuat masyarakat sipil dan aktivis lingkungan di Tanah Air gigit jari.

Mereka menilai program co-firing batu bara dengan biomassa dari HTE ini bakal memicu kerusakan hutan alam dalam skala masif.

Deforestasi demi Energi Hijau?

Amalya Reza Oktaviani (31 tahun) gusar bukan kepalang. Manajer Program Trend Asia (TA)—organisasi nirlaba yang fokus mendorong energi terbarukan bersih dan berkelanjutan di Asia Tenggara—menemukan sinyal bahaya deforestasi hutan di Indonesia akibat biomassa.

Dalam penelitian bertajuk “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,” tim TA menemukan bahwa pengadaan biomassa untuk keperluan co-firing PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa memicu pembukaan HTE seluas 2 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta.

PLN diketahui menargetkan co-firing di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga 2025, dengan total kebutuhan biomassa 10,2 juta ton/tahun. Hingga akhir tahun lalu, ada 35 PLTU yang mengimplementasikan co-firing dengan estimasi konsumsi biomassa 450.000 ton/tahun.

Jika dipenuhi dari HTE, maka mau tak mau areal lahan HTE harus lebih luas. Mengacu pada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang 38% di antaranya berasal dari alih-fungsi hutan alam, TA khawatir HTE untuk co-firing PLN memicu deforestasi antara 625.000 sampai 2,1 juta hektare.