News - “Selalu mengejutkan bagi saya bahwa Maxwell sepertinya tidak pernah berusaha mendapatkan bukti eksperimental apa pun tentang keberadaan gelombang elektromagnetik,” ujar Ambrose Fleming, murid terakhir James Clerk Maxwell di Cavendish Laboratory, University of Cambridge, Inggris.

Setelah Michael Faraday menemukan keterikatan antara magnet dan listrik, Maxwell mengungkap seluk-beluk di balik fenomena yang kemudian dikenal sebagai elektromagnetik ini lewat hitungan matematika.

Menurut Maxwell, seperti dikutip Lewis Coe dalam Wireless Radio (2006), persamaan matematika merupakan alat terkuat yang dimiliki dunia fisika untuk memahami alam. Di tataran terdasar, persamaan matematika dapat memprediksi hasil suatu eksperimen tanpa perlu melakukan eksperimen, misalnya dibuktikan melalui keindahan Teorema Pythagoras.

Hitung-hitungan ala Maxwell mengungkap keterikatan ini dalam konsep bernama "luminiferous ether" atau "medan", zat yang diyakini memenuhi seluruh ruang dan berfungsi sebagai medium gelombang elektromagnetik.

Gelombang alamiah yang dihasilkannya dari keterikatan tersebut kemudian dikenal sebagai Maxwell’s Wave. Ia bergerak dengan cara merambat secara konstan ke segala penjuru.

Mencoba membuktikan keyakinan Maxwell, dua fisikawan asal Amerika Serikat, Albert A. Michelson dan Edward W. Morley, melakukan eksperimen untuk membuktikan keberadaan "medan" pada 1887 dengan cara mengukur gerak relatif Bumi terhadap matahari.

Namun, eksperimen yang kemudian dikenal sebagai Percobaan Michelson–Morley ini gagal menghasilkan kesimpulan apa pun karena keterbatasan peralatan saintifik.

Seakan tak mau mengakui Maxwell, kondisi ini membuat mayoritas ilmuwan abad ke-19 percaya bahwa keterikatan fenomena listrik dan magnet timbul tanpa hubungan fisik atau perantara apa pun, alias bekerja berdasarkan teori jadul bernama "action at a distance".

Teori ini merupakan pondasi Newton dalam memahami gravitasi sebelum diluruskan Einstein. Dan frasa teori ini dipinjam Einstein untuk istilah kesohornya, "spooky-action-at-distance".

Karena keterbatasan pula, mayoritas ilmuwan lebih percaya bahwa perambatan gelombang elektromagnetik tidak dibatasi kecepatan cahaya, tetapi bergerak lebih cepat, sangat cepat, atau berkecepatan tak terbatas (infinity).

Seturut Hermann von Helmholtz, Ketua Departemen Fisika University of Berlin, perambatan gelombang elektromagnetik yang berkecepatan tak terbatas adalah aneh, khususnya jika gelombang tersebut merambat selain di udara (ruang vakum).

Maka, lagi-lagi atas keterbatasan yang dimiliki, Helmholtz mencoba berkompromi antara keyakinan Maxwell dan mayoritas ilmuwan dengan menerima teori "action at a distance" untuk ruang bebas, tetapi mengadopsi teori Maxwell dalam kasus dielektrik.

Namun, karena tak terlalu yakin dengan komprominya sendiri, lewat Berlin Academy of Science, pada 1879 Helmholtz mengadakan sayembara. Ia mencoba mencari tahu jawaban sebenarnya tentang fenomena elektromagnetik untuk mencari pembuktian saklek non hitung-hitungan matematis.

Sebuah sayembara yang dijawab dengan brilian oleh , murid sekaligus anak buahnya sendiri di University of Berlin.