News - Sejak lama manusia telah melakukan proses pertukaran ide, informasi, barang, dan lain-lain sehingga mereka tersambung satu sama lain. Satu hal penting dalam proses ini adalah cara manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dari sisi teknologi pengangkut, sebagaimana dipaparkan Vaclav Smill dalam Prime Mover of Globalization: The History and Impact of Diesel Engines and Gas Turbines (2010), setidaknya ada tiga gelombang globalisasi.

Pertama disebut sebagai gelombang perintis yang berlangsung dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Pada masa ini layar menjadi penggerak utama. Memanfaatkan angin, layar menggerakkan kapal-kapal dagang melintasi lautan di seluruh dunia. Namun, waktu tempuhnya sangat lama.

Memasuki abad ke-19, layar digantikan oleh mesin uap yang menandai dunia memasuki tahap kedua gelombang globalisasi. Mesin uap berhasil menggerakkan kapal barang dan kapal penumpang melintasi benua dan samudra. Proses ini berlangsung setidaknya sampai tahun 1945 atau setelah Perang Dunia II berakhir.

Setelah itu, dunia memasuki tahap ketiga gelombang globalisasi yang ditandai oleh penggunaan mesin turbin pada pesawat dan mesin diesel pada kapal. Keduanya, khususnya mesin diesel, berhasil menciptakan dunia menjadi satu kesatuan karena membantu mempercepat proses perpindahan barang dan manusia. Atau dalam bahasa Vaclav Smill “telah berhasil menyebabkan pergeseran zaman yang telah menciptakan dorongan terhadap peningkatan dan perluasan ekonomi global.”

Berawal dari Penasaran

Cerita bermula pada tahun 1878 di Politeknik Munich. Sekali waktu Rudolf Christian Karl Diesel penasaran oleh ucapan Profesor Gottfried von Linde (1842-1934). Dalam perkuliahan termodinamika, sang professor menyampaikan bahwa “dalam Teori Carnot, kalor yang dikonduksi akan menjadi gas dengan efisiensi dan efektivitas mencapai 90 persen sehingga sanggup membuat mesin bekerja.”

“Apakah mungkin mewujudkan teori itu menjadi kenyataan?” pikir Diesel.

Setelah itu, sebagaimana dikutip Vaclav Smill dari autobiografinya berjudul Die Entstehung des Dieselmotors (1913), “Keinginan untuk mengubah teori itu menjadi praktik terus mendominasi pikiran hidupku. Aku meninggalkan sekolah, pergi ke tempat praktik, dan berusaha mewujudkannya.”

Ketika Diesel tergerak untuk merealisasikannya, teknologi mesin bukan sesuatu yang asing. Saat itu sudah terdapat mesin uap yang menopang kehidupan masyarakat dunia. Kebutuhan listrik masyarakat, industri, dan transportasi telah bergantung dari operasional mesin yang ditemukan oleh Thomas Newcomen pada 1711, yang kemudian disempurnakan James Watt pada 1768. Selain itu ada pula mesin bensin ciptaan Nikolaus Otto pada 1861 yang menjadi alternatif mesin uap.

Namun, kerja kedua mesin itu tidak efektif. Kerja mesin yang besar tidak sebanding dengan energi mekanis yang dihasilkan. Efektivitas mesin uap hanya 6-10 persen, sedangkan mesin bensin berkisar 14-17 persen. Artinya dari keseluruhan proses kerja hampir seluruh energi terbuang sia-sia. Hal inilah yang akan dibenahi Diesel dengan menciptakan mesin pembakaran internal yang lebih efektif dan efisien.

Motivasi Diesel lainnya didasari atas keprihatinan terhadap masyarakat Eropa yang tidak mampu mengakses mesin. Karena harganya mahal, mesin hanya bisa dimiliki oleh pabrik-pabrik besar. Sementara industri kecil dan masyarakat sipil tidak bisa memilikinya. Maka itu Diesel ingin penemuan mesinnya kelak dapat diakses oleh rakyat kecil. Tentu dengan harga dan biaya perawatan yang murah.