News - Sosok Eva Kusuma Sundari dikenal sebagai srikandi Senayan alias politikus perempuan yang getol bersuara di DPR RI. Mantan kader PDIP itu sudah beberapa periode keluar masuk parlemen untuk menyuarakan aspirasi kaum marjinal seperti buruh, petani, hingga asisten rumah tangga.

Bertandang ke kantor Tirto sebagai pembicara di podcast FYP (For Your Pemilu), Eva menuturkan bahwa pemilu kali ini lebih buruk dari kontestasi-kontestasi sebelumnya. Kali ini, Eva kembali maju berlaga di pemilu legislatif di bawah naungan Partai Nasdem. Dia menemukan bukti dugaan kecurangan di berbagai tingkatan yang membuat upaya mendidik masyarakat melakoni politik yang bersih menjadi semakin sulit saja.

Perempuan kelahiran Oktober 1965 itu menyatakan bahwa kecurangan dalam bentuk politik uang bahkan terjadi pada minggu tenang dan terang-terangan.

“Dan itu bahkan dalam satu orang [pemilih] itu bisa ngumpulin lima amplop. Makanya istilahku, yang terakhir yang dia ingat. Bukan nama , tapi nomor [urut memberi amplop],” ujar Eva kepada Tirto.

Dalam kesempatan ini, Eva juga bercerita soal proses hengkangnya dia dari PDIP. Dia menepis anggapan yang menyebutnya pengkhianat dan tidak memiliki kontribusi. Lebih jauh, Eva menilai cawe-cawe presiden dalam pemilu kali ini sudah benar-benar kelewatan.

Tidak heran bergulir wacana hak angket dari kubu paslon nomor urut 1 Anies-Imin dan paslon nomor urut 3 Ganjar-Mahfud yang notabene tidak 'didukung' oleh Presiden Jokowi. Namun, Eva cukup ragu hak angket bisa jalan terus jika konsolidasi parpol tidak solid. Lantas bagaimana agar hak angket dapat terus dilanjutkan?

Simak petikan wawancara Tirto dengan Eva, di bawah ini:

Kapan sih Mbak pindah dari PDIP ke Nasdem ini Mbak?

Satu minggu sebelum pendaftaran caleg. Aku tuh tanggal 13 April itu mengirim surat ke DPP [PDIP]. Aku menitipkan ke kurir dan tercatat semua. Dan tidak ada respons dari PDIP.

Dan aku merasa apa ya, oh aku tidak begitu penting kan. Jadi enggak direspons. Ya udah aku gitu. Langsung aku daftar di Nasdem. Tapi aku mengundurkan diri ya. Itu harus jelas aku. Dan dengan sengaja aku tidak mau merespons pancingan-pancingan. Seperti Eva enggak pamit, Eva melakukan pengkhianatan, kayak gitu. Aku enggak respons.

Yang jelas aku tunjukin ke Nasdem ya tentu, sebagai persyaratan. Ini suratnya, bahkan saya fotokopi kurir tanda terimanya dan seterusnya.

Kenapa Nasdem waktu itu?

Karena selama aku advokasi RUU PPRT, Nasdem yang paling responsif. Dan paling akomodatif. Dan saya tahu ceritanya ternyata bisa masuk ke proses legislasi setelah mandek 18 tahun. Itu karena pakai kuotanya Nasdem di Baleg. Jadi perbincanganku dengan Willy itu ngomong, jatahku pakai aja. Jatahnya Nasdem.

Walaupun aku tahu bahwa pendukung Nasdem itu ya penyiar-penyiar yang enggak ada kaitannya dengan ini. Ini kan harusnya konstituennya PDIP. Tapi oke lah aku juga aktivis dan aku setuju dengan ini.

Jadi itu yang membuat akhirnya dekat emotionally, literally juga dekat. Dan lama banget proses itu. Sementara di PDIP responsnya enggak ada.

Apakah merasa diasingkan di PDIP? Peran Anda kan banyak.

Aku yang bikin kan Departemen Perempuan itu 2007. Yang merupakan apa sih istilahnya paving the way untuk Mbak Puan [Maharani] supaya masuk ke struktur di situ. Dan Mbak Puan masuk ke DPP pertama kali sebagai ketua peran perempuan dan perlindungan anak waktu itu. Nah, setelah itu bergulir dan aku yang nyiapin juga pelatihan pertama kali di PDIP [ada] perempuan dan politik.

Jadi di situ sebetulnya. Tapi karena kemudian aku lebih milih ke Badiklatpus. Karena Badiklatpus itu kan menyiapkan laki-laki dan perempuan ya. Bukan hanya perempuan saja. Jadi saya menyiapkan sistemnya dari awal lah, 2004 ya aku masuk.

Kenapa yang srikandi-srikandi yang vokal kayak Anda di PDIP sedikit?

Dulu rame ya. Jamannya Mas Tjahjo ketika oposisi ya tahun 2004-2009. Semua aktif ya zaman oposisi. Karena kebijakan ketua fraksi waktu itu Mas Tjahjo bahwa everybody can talk. Karena ini parlemen begitu. Jadi dan akomodatif ada kebijakan yang sangat saya hormati Mas Tjahjo, jangan rangkap jabatan sehingga semua bisa punya kesempatan.

Jadi yang sudah jadi pimpinan DPP enggak boleh jadi pimpinan di fraksi. Yang di fraksi enggak boleh rangkap. Jadi ruang itu sangat terbuka. Dan ketika aku berinisiatif untuk advokasi kelompok minoritas, aku dikasih SK. Nggak dimarahin, gitu loh.

Eva Kusuma Sundari

Eva Kusuma Sundari. (News/Andhika Krisnuwardhana)

Kalau lintas partai ada enggak waktu itu?

Aku sebagai generasi pertama yang mendukung adanya kaukus perempuan politik atau KPPI. Sampai sekarang berdiri. Jadi itu isinya adalah anggota-anggota DPR perempuan. Terus kita bikin WhatsApp Grup. Dan itu cukup dinamis dan sangat produktif.

Karena setiap aku advokasi misal inisiatifku untuk revisi Undang-Undang Perkawinan tahun 2019. Itu kan tidak ada di prolegnas, itu ya inisiatifku. Aku waktu itu kan nggak jadi ya. Aku cuma mikir aku harus punya legasi dong. Walaupun nggak jadi ya bisa.

Karena aku masuk ke DPR tingkat kota perempuan, ya aku harus payback ya. Jadi aku inisiatif itu tidak didukung partai, tapi di tengah jalan akhirnya bisa gol. Karena aku minta tolong teman-teman perempuan lintas fraksi. Jadi itu konspirasi betul. Konspirasi teman-teman perempuan.

Di awal bertemu, kenapa sempat bilang pesimistis masuk DPR?

Ya dua hal ya. Yang pertama, menurutku suasana kacau banget ya sekarang itu. Bahkan ketika kita, itu usulanku ya. Ketika C1 harus bisa di-upload gitu ya. Nah, aku gembira kan ini diakomodasi C1 itu.

Tapi begitu masuk rekap, itu kacau balau. Karena aku mikirnya ketika di-upload itu orang jadi hati-hati. Karena sudah ada data yang enggak bisa diolak.

Namun, ternyata masih ada itu kecurangan itu yang terjadi. Yang terakhir misal kemarin saya dapat laporan, ada antarpartai itu saling menggelembungkan.

Penggelembungan sampai berantem. Jadi di internal partai ada penggelembungan. Kemudian di antarpartai juga ada penggelembungan. Sekarang lagi rame ini di Nganjuk ya antara, aduh nggak enak aku ngomong partainya.

Dan teman-teman di bawah lapor minta perlindungan. Ya pokoknya kalau saksi tidak menandatangani berita acara itu peluang dan modal untuk menjadi diadukan ke Bawaslu lah. Tapi kalau saksi kita tanda tangan, repot kita. Karena jika saksi tanda tangan artinya setuju.

Jangan tanda tangan [kalau tidak setuju]. Dan semaksimal mungkin selesaikan di PPK. Jangan di KPU, karena semakin ke atas semakin susah. Makin ke sini KPU makin ruwet kan. Jadi di PPK harus beres.