News - Terletak di sudut dalam membuat objek purbakala satu ini sering kali luput dari atensi pengunjung Museum Nasional Indonesia. Ukurannya pun tak seberapa besar sehingga agak susah untuk langsung dikenali. Pencahayaan ruang pamer yang redup juga kotak kaca yang membiaskan cahaya membuat pengunjung tak bakal segera menyadari keistimewaannya.

Dimensi panjangnya memang hanya 45 cm dan keliling batunya 80 cm—tak bisa dikatakan besar, meski juga tak terlalu kecil. Ia bakal serupa batu sungai yang sangat biasa andaikan tak memuat tatahan huruf-huruf arkais di permukaannya yang kusam.

Begitulah, penampilan lazimnya memang bisa menipu. Percayalah, ia bukan sembarang batu andesit. Ia adalah prasasti tinggalan Kedatuan Sriwijaya yang pernah berjaya di Sumatra. Dan huruf-huruf arkais di permukaannya itu terang menyimpan pengetahuan penting tentang masa lalu kita, orang Indonesia.

Akta Pendirian Sriwijaya?

Pada 29 November 1920, seorang Belanda bernama Batenburg—entah bagaimana mulanya—menemukan sebongkah batu kali beraksara di kediaman satu keluarga Melayu di Desa Kedukan Bukit. Desa ini terletak di tepian Sungai Tatang yang merupakan salah satu anak Sungai Musi.

Batenburg lantas melaporkannya kepada Residen Palembang L.C. Westenenk. Sehari kemudian, Westenenk melaporkan pula temuan itu kepada Kepala Oudheidkundige Dienst Frederik David Kan Bosch.

“Menurut Westenenk, batu ini sudah lama merupakan milik keluarga itu yang mempergunakannya sebagai ‘jimat’ pada waktu perlombaan berdayung,” tulis ahli epigrafi George Coedes dalam kajiannya yang termuat dalam bunga rampai Kedatuan Sriwijaya: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi (2014).

Tak sampai berganti tahun, laporan temuan batu beraksara yang kemudian disebut Prasasti Kedukan Bukit itu muncul dalam berkala Oudheidkundige Verslag. Meski begitu, ia belum benar-benar menarik atensi jagat peneliti purbakala hingga Ph. S. van Ronkel menerbitkan telaahnya yang berjudul “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang” pada 1924.

Jelasnya, Prasasti Kedukan Bukit “diterbitkan” oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, datu dari Kedatuan Sriwijaya.

swasti sri sakawarsatita 604, ekadasi suklapaksa wulan waisakha dapunta hyang nayik di sambau mangalap siddhayatra.”

Demikianlah tiga baris pertama prasasti itu terbaca. Dikabarkannya bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604 Saka (682 M), seorang raja bergelar Dapunta Hyang dengan berperahu melakukan perjalanan mangalap siddhayatra.

Tujuh baris selanjutnya dari Prasasti Kedukan Bukit juga mencatat tentang perjalanan sang Raja. Bahwa pada 7 Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa bersama 20 ribu bala tentara. Lalu pada 5 Asada, Dapunta Hyang tiba di suatu daerah yang diperkirakan bernama Mukha Upang dengan sukacita dan kemudian mendirikan wanua.

Pada baris pamungkasnya, terpahat kalimat “sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa” yang terkesan seperti seruan kemenangan.

Meski kondisi Prasasti Kedukan Bukit ketika ditemukan nisbi masih cukup baik, tetap saja ada bagian-bagiannya yang aus dan sulit dibaca. Itu belum pula menghitung beberapa kata yang tak sepenuhnya bisa dipahami maksudnya. Tak heran jika kemudian banyak ahli memperdebatkan maksud penulisan prasasti itu.

N.J. Krom, misalnya, mengajukan teori bahwa penerbitan Prasasti Kedukan Bukit mungkin berkaitan dengan pendirian Kedatuan Sriwijaya. Kemungkinan itu malah dianggap sebagai kepastian oleh Mohammad Yamin.

Pendapat itu ditolak oleh sejarawan Slamet Muljana melalui bukunya Sriwijaya (2006). Slamet mengajukan beberapa kronik Tiongkok yang menyebut bahwa Sriwijaya sudah eksis jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit ditatah.

Dengan mempertimbangkan kajian-kajian yang terbit sebelumnya, Slamet menyimpulkan bahwa pokok Prasasti Kedukan Bukit adalah piagam atas keberhasilan suatu ekspedisi militer. Itulah yang menurutnya dimaksud oleh kata jayasiddhayatra dalam prasasti itu.

“Sudah jelas bahwa perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan, karena perjalanan jaya itu mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan,” tulis Slamet.

Adapun van Ronkel yang pertama kali membedahnya mengusulkan bahwa pokok prasasti itu adalah pendirian ibu kota Sriwijaya. Sementara itu, ahli epigrafi Boechari dalam “New Investigations on the Kedukan Bukit Inscription” (1986) menyimpulkan bahwa itu adalah piagam tentang ekspedisi besar untuk mendirikan pusat kerajaan baru bagi Sriwijaya.

Di antara pendapat-pendapat yang bersahut-sahutan itu, Coedes mencoba bersikap lebih “santai”.

“Hal yang dapat dikatakan hanyalah bahwa keadaannya mestinya cukup penting sehingga selayaknya diperingati dengan beberapa detail kronologi, yang tidak terdapat pada batu-batu sungai bertulis lain,” tulis Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017).