News - Sebuah sumur di pusat kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, kerap luput dari pandangan mata. Padahal, sumur jenis artesis ini memiliki nilai penting bagi sejarah perkembangan kota, khususnya terkait modernisasi pengadaan air bersih.

Sumur yang penulis maksud terletak di sebelah timur Taman Srigunting Kota Lama. Posisinya yang menyempil di antara bangunan toilet umum membuatnya makin sulit dikenali. Perlu kejelian untuk mengenalinya lantaran bentuknya memang tak seperti sumur kebanyakan.

Fasad sumur hanya tampak setengah lingkaran berdinding beton. Di atasnya terpasang penutup pelat besi berbentuk persegi. Pada kanan-kirinya, terdapat dua mesin pompa air bertenaga listrik yang terhubung dengan jalinan pipa paralon.

Sebelum dipugar, mulut sumur dibiarkan menganga. Dahulu, orang-orang yang membutuhkan air harus mengatrol secara manual dengan ember. Hingga sekira pertengahan 2018—seturut dokumentasi Google Streetview, masih terlihat aktivitas orang mengerek air sumur tersebut dengan ember. Air sumur juga biasa dimanfaatkan oleh para penjaja air keliling.

Menurut Winarni—warga sekitar kawasan Kota Lama Semarang, pemanfaatan air sumur saat ini berbeda dengan dulu.

"Sekarang sudah enggak ada penjual air keliling yang ambil air dari sini," cerita Winarni saat ditemui awal Juni 2024.

Berdasarkan pengamatan penulis, air sumur kini dimanfaatkan untuk mengairi toilet umum. Setiap pagi, petugas kebersihan dan pertamanan juga memanfaatkan air sumur untuk menyirami Taman Srigunting.

Dibangun untuk Kepentingan Publik

Sumur artesis atau sumur bor di Kota Lama Semarang tersebut diperkirakan sudah berusia lebih dari 180 tahun. Merunut sejarahnya, sumur tersebut dibangun untuk kepentingan publik pada 1841 oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Kawasan Taman Srigunting tempat sumur itu kini berada merupakan Paradeplein atau lapangan parade militer zaman Kolonial.

Sejarah pembangunan sumur artesis itu terekam dalam buku Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch bertarikh 1875. Buku tersebut ditulis Prof. Pieter Johannes Veth, seorang ahli geografi cum etnografi dari Universitas Leiden, Belanda.

Prof. Veth mengatakan bahwa, "Op dat (parade) plein bevindt zich een in 1841 tot eene diepte van 71 meter geboorde artesische put (Di lapangan parade itu, terdapat sumur artesis yang dibor pada 1841 hingga kedalaman 71 meter).”

Menurut Veth, sumur artesis itu sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kawasan Kota Semarang yang saat itu masih terbilang langka. Pada zamannya, sumur itu menghasilkan air minum yang sangat baik mutunya dan melimpah.

"(Sumur) memberikan manfaat nyata tidak hanya bagi penduduk kota, tapi juga bagi kapal-kapal yang bersandar di dermaga," tulis Veth dalam bukunya.

Untuk keperluan pelabuhan, air dari sumur Paradeplein dialirkan dengan pipa ke tandon penampungan yang terletak di tepi Kali Semarang. Pada abad ke-19, Pelabuhan Semarang memang berada di Kali Semarang yang menara syahbandarnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Paradeplein.

Pemanfaatan air sumur artesis Paradeplein untuk kepentingan publik juga diceritakan A.H. Plas dalam artikel berjudul "Van ‘t Oude Semarang en ‘t Verjongde Semarang: Historische Ethongraphische Schetz” di majalah Eigen Haard.

Petugas kebersihan

Petugas kebersihan sedang mengambil air sumur dengan pipa. tirtoid/Baihaqi Annizar

Modernisasi Pengadaan Air Bersih

Pegiat sejarah Semarang, Rukardi Achmadi, menyebut bahwa warga bumiputera dahulu kesulitan mengakses air bersih. Mereka biasa mengambil air dari sungai atau sumur dangkal untuk kemudian dimasak dan dikonsumsi.

Karenanya, keberadaan sumur artesis Paradeplein pada pertengahan abad ke-19 merupakan suatu terobosan sekaligus penanda modernisasi pengadaan air bersih.

Sumur artesis atau masyarakat sering menyebutnya dengan sumur bor adalah sumur yang sengaja dibuat untuk mengalirkan air bertekan tinggi dari akuiver (lapisan batuan penampung air) yang ada di dalam tanah ke permukaan.

Menurut Rukardi, Semarang adalah salah satu kota besar di Jawa yang paling dahulu mendapat pengaruh teknologi Barat yang dibawa oleh orang-orang Belanda. Termasuk teknologi sumur bor yang saat itu belum dikenal warga pribumi.

"Dengan demikian, bisa diinterpretasikan jika sumur ini mewakili tipologi sumur artesis generasi awal di Pulau Jawa atau bahkan mungkin Hindia Belanda," jelas Rukardi kepada penulis pada Rabu (12/6/2024).

Sebagai perbandingan, sumur artesis pertama di kota yang lebih besar, Batavia, baru dibangun pada 1843 menurut sumber Dinas Kebudayaan Jakarta.

Rukardi yang merupakan eks Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang ini melanjutkan bahwa tipologi sumur artesis generasi awal erat kaitannya dengan desain, bahan bangunan, dan teknologi yang digunakan.

Sumur artesis dengan kedalaman puluhan meter tentu membutuhkan teknologi yang memadai. Namun, untuk kedalaman sumur, Rukardi meyakini tidak sampai 71 meter sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Veth.

Seturut sebuah sumber yang ditelusurinya sendiri, kedalaman sumur artesis Paradeplein sebenarnya adalah 71 ell, bukan 71 meter. Kata dia, 1 ellsama dengan 69,425 sentimeter—menurut standar Kota Den Haag, Belanda.

"Jadi, 71 ell sekitar 49,3 meter," jelas Rukardi.