News - Mari kita bertandang ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Lebih tepatnya ke Anjungan Nanggroe Aceh Darussalam. Seturut situs resmi TMII, kita bisa menilik dua rumah tradisional Aceh di anjungan ini.

Pertama adalah repilika rumah dari pahlawan perempuan Aceh, Cut Meutia. Yang kedua adalah rumoh Aceh yang juga berfungsi sebagai rumah pameran. Di dalamnya, kita dapat ditemui beberapa koleksi-koleksi yang terkait dengan budaya dan dokumentasi perjuangan rakyat Aceh.

Namun, jangan kira petualangan kita akan berakhir di dua rumah tersebut. Pasalnya, di halaman Anjungan Aceh, kita bisa menilik sebuah koleksi yang istimewa. Tak hanya karena ukurannya yang besar, ia istimewa karena kisah sejarah yang mengiringnya.

Koleksi tersebut berada di bagian halaman tepi Danau Achipelago TMII. Koleksi yang penulis maksud adalah replika pesawat jenis Dakota buatan Douglas Aircraft Company berwarna abu-abu-putih dengan setrip garis merah pada bagian tengahnya.

Di badan pesawat itu, tertulis dengan jelas “Indonesian Airways”. Lalu di bagian bawah jendela kokpit, terdapat tulisan berbahasa Aceh “Seulawah” yang mempunyai arti gunung emas.

Lantas, apa yang membuat replika pesawat itu istimewa? Untuk menjawabnya, mari kita memutar waktu dan bertualang ke Aceh di masa Revolusi.

RI-001 Seulawah

Selama Perang Revolusi berkecamuk (1945-1949), Indonesia amat membutuhkan pesawat untuk berbagai keperluannya sebagai negara baru. Pesawat militer sudah tentu dibutuhkan untuk keperluan perang dan membongkar blokade Belanda. Selain itu, Indonesia juga amat membutuhkan pesawat sipil sebagai sarana pengangkutan dan diplomatik.

Sayangnya, keuangan Pemerintah Indonesia yang usianya baru seumur jagung itu tentu saja cekak. Dalam kondisi perang, tentu amat sulit menyediakan anggaran pembelian pesawat secara cepat.

Oleh karena itulah, KSAU pertama, Komodor Udara Suryadi Suryadharma, lantas menggagas penggalangan dana. Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950 (2008) menyebut bahwa gagasan itu diwujudkan dengan pembentukan Dakota Fonds.

Suryadarma menunjuk Opsir Muda Udara II Wiweko Soepono sebagai Kepala Biro Rencana dan Propaganda Dakota Fonds serta Opsir Muda Udara Salatun sebagai Kepala Biro Penerangan. Opsir Salatun-lah yang kemudian bergerak menggalang dana ke beberapa daerah di Sumatra bersamaan dengan safari Presiden Sukarno.

Mengapa Sumatra dijadikan daerah kampanye penggalangan dana? Laman resmi Dinas Penerangan TNI AU (Dispenau) menyebut bahwa Sumatra secara geografis lebih memungkinkan untuk membangun hubungan dagang dengan luar negeri. Tentu dengan cara klandestin karena adanya blokade Belanda.

Jika pesawat berhasil dibeli, di Sumatra-lah mestinya dijadikan basis pengoperasiannya.

“Karena potensi itulah Sumatera sangat tepat untuk dijadikan sasaran dana Dakota. Daerah yang dituju adalah Lampung, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Bukittinggi, Tapanuli, dan Aceh,” tulis Dispenau dalam Mengenang Pesawat Dakota RI-001 Seulawah.

Salah satu daerah di Sumatra yang didatangi Salatun untuk penggalangan dana adalah Aceh. Pada 16 Juni 1947 Presiden Sukarno berpidato di Hotel Aceh. Karena memang dasarnya seorang orator pilih tanding, Sukarno berhasil membangkitkan kesadaran dan semangat rakyat Aceh untuk ikut menyumbangkan dananya ke Dakota Fonds.

“Hasil pengumpulan dana, khususnya sumbangan dari Aceh, ternyata melebihi apa yang diharapkan, karena dalam dua hari berhasil mengumpulkan uang 130.000 US Dolar yang cukup dibelikan satu pesawat berikut dengan peralatannya,” tulis Irna H.N. Hadi Soewito, Nana Nurliana Suyono, dan Soedarini Soehartono dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950 (2008).

Selain uang, ada pula sekalangan masyarakat Aceh yang menyumbang emas. Saat ditotal, emas yang terkumpul setidaknya seberat lima kilogram.

Adalah Opsir Wiweko yang kemudian ditugasi membeli pesawat dengan dana itu. Dia pergi ke Filipina dan membeli sebuah pesawat Dakota buatan pabrikan Amerika Serikat.

Karena suatu sebab pesawat itu tak bisa langsung diterbangkan ke Indonesia. Maka mula-mula ia diterbangkan ke Hong Kong, lalu ke Yogyakarta, dan baru sampai ke Aceh. Pesawat Dakota itu lantas diberi nomor registrasi RI-001 dengan nama Seulawah dan sampai di Indonesia pada Oktober 1948.

Sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan beberapa detail yang berbeda tentang kisah pembelian pesawat itu. Dalam artikel bertajuk “Hari Lahir Garuda” yang terbit di harian Kompas, 23 Oktober 2009, Asvi mencatat bahwa emas yang terkumpul sebenarnya lebih banyak, mencapai 20 kilogram. Juga, Wiweko membeli pesawat itu bukan di Filipina, melainkan di Singapura.