News - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membongkar kasus Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif yang dilakukan oleh pegawai inisial LHS sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi (Direktorat IKHF) Tahun Anggaran 2023.

Kasus ini berawal dari aduan masyarakat yang kemudian dilakukan pemeriksaan secara internal.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan internal, seluruh paket pekerjaan yang diadukan tidak terdaftar pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) 2023. Terlebih paket pekerjaan dimaksud memang tidak terdapat dalam alokasi DIPA Kemenperin Tahun Anggaran 2023.

“Hasil pemeriksaan internal kami menemukan penipuan yang dilakukan oleh LHS dengan membuat SPK fiktif,” jelas Febri dalam pernyataanya, dikutip Selasa (7/5/2024).

LHS membuat SPK kepada pihak lain. Seolah-olah SPK tersebut merupakan SPK resmi dari Kementerian Perindustrian.

“Perbuatan LHS ini tidak diketahui ataupun diperintahkan oleh atasan atau pimpinannya dan merupakan perbuatan pribadi yang bersangkutan,” tegas Febri.

Dari laporan atau pengaduan yang masuk, terdapat empat SPK yang dilaporkan masyarakat kepada Kemenperin dengan nilai kerugian Rp 80 miliar. Terdapat SPK fiktif yang diterbitkan oleh LHS selaku PPK untuk kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF. Salah satunya senilai Rp23 miliar.

Nilai tersebut tidak sesuai dengan anggaran dan jenis kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF sebagaimana tercantum dalam DIPA Direktorat IKHF Tahun 2023 yang hanya sebesar Rp590 juta dari total pagu anggaran sebesar Rp10 miliar.

“Yang perlu ditegaskan adalah kasus ini tidak menimbulkan kerugian pada keuangan negara,” jelas Febri.

Dari kasus tersebut, Kemenperin melakukan proses penindakan atas pelanggaran disiplin berat dengan hukuman maksimal pemecatan. LHS saat ini telah dibebastugaskan dari jabatannya sebagai PPK. Kemenperin tidak menoleransi dan akan menindak tegas perbuatan-perbuatan pelanggaran sejenis.

“Selanjutnya, kami mengimbau masyarakat termasuk para penyedia jasa untuk memperhatikan secara saksama kegiatan-kegiatan pengadaan barang jasa di Kemenperin melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE),” tutup Febri.

Kasus SPK fiktif tidak hanya terjadi di Kemenperin. Pada 2023 sebanyak tiga pejabat Dinas Kesehatan Sukabumi terlibat kasus serupa.

Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi berhasil menyita uang senilai Rp4,3 miliar dari sejumlah perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang diduga merupakan uang hasil korupsi pada kasus SPK pembangunan dari Dinkes kabupaten Sukabumi.