News - Kita tak tahu almarhum Didi Kempot ingin bagaimana dan bertemu siapa saat meninggal dunia begitu cepat kemarin. Tapi kita bisa tahu apa keinginan Hassan Hanafi, pemikir Mesir berpengaruh itu, sesudah mati. Dalam autobiografinya, Dhikriyyat 1935-2018 (2019), Hanafi ingin mati yang mudah, terang bercahaya, lalu bertemu kerabat dekat dan orang-orang yang ia tulis: Fichte, Bergson, al-Afghani, dan Iqbal. Ia juga ingin bertemu dua guru filsafatnya: Usman Amin dan Jean Guitton; serta dua muridnya yang mendahului: Nasr Hamid Abu Zayd dan Ali Mabruk.

Deretan nama yang sudah meninggal ini banyak memberi kita informasi mengapa mereka begitu penting dalam karier intelektual Hanafi. Usman Amin berjasa dalam memperkenalkan filsafat kepada Hanafi dalam periode formatifnya di Kairo. Pada masa awal 1950-an ketika Hanafi masih aktif sebagai anggota al-Ikhwan al-Muslimun dan kepincut dengan gagasan fiqh al-waqi` atau ilmu realis baru dari Sayyid Qutb, Amin memberinya asupan filsafat dan yang terpenting ialah modernisme Muhammad Iqbal.

Gagasan khudi atau diri Iqbal yang kuat dan kreatif memberikan dorongan subjektif kepada Hanafi. Bukan saja Hanafi menulis biografi Iqbal sebagai filsuf dhati, bersifat zat atau diri, filsuf Pakistan itu benar-benar mengubah haluan hidup Hanafi dari ketertarikannya kepada Qutb. Gagasan ijtihad Iqbal sebagai prinsip gerakan dalam struktur Islam menarik perhatian Hanafi dan menjadikan Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam sebagai model pertama dari proyek intelektualnya di kemudian hari: tradisi dan pembaruan (al-turath wa-l-tajdid). Hanafi seolah-olah sedang menarik benang kebangkitan peradaban sejak Jamaluddin al-Afghani dan dilanjutkan lebih serius oleh Iqbal, lalu dirinya.