News - Nama yang tak asing di telinga aktivis dan pengkaji Islam di Indonesia, Fazlur Rahman Malik atau biasa dikenal dengan Fazlur Rahman, memiliki dua dimensi yang saling melengkapi. Pertama, ia dianggap sebagai pembelajar terbaik pada abad lalu soal sejarah intelektual Islam. Kedua, ia pemikir reformis-modernis yang harus menghadapi implikasi pahit dari apa yang ia lontarkan. Rahman menyukai sejarah apa adanya, namun ia sendiri bergulat dengan "sejarah" reaktif yang dilontarkan sebagian kalangan konservatif.

Sebelum ia mengasingkan diri pada 1968 ke Amerika dan mengajar di California lalu berpindah permanen ke Chicago, Rahman ialah sejarawan intelektual dan pemikir yang dihormati banyak kalangan di Pakistan. Silsilah intelektualnya lengkap. Ayahnya seorang alim dengan pengetahuan luas dan mengajarinya di rumah. Rahman, hafal Al-Qur'an pada umur 10, dikirim ke sebuah dar al-ulum yang kita sebut di sini sebagai ‘pesantren’.

Latar belakang itu mengingatkan kita kepada pendidikan awal Nurcholish Madjid, salah satu murid terkemuka Rahman. Setelah lulus kuliah di Punjab, Rahman lalu belajar filsafat Islam dan filsafat Yunani di Oxford dan pada 1949 menyelesaikan disertasi tentang psikologi Ibnu Sina di bawah bimbingan S. van den Bergh dan H.A.R. Gibb. Dari sini, ia mempunyai segudang penguasaan bahasa klasik termasuk Yunani dan Latin.