News - Pada mulanya, semua bencana terjadi karena sikap meremehkan.

Malam itu, saya ngider di kawasan Malioboro dengan perut kosong. Untung waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMA, jadi metabolisme tubuh masih bagus. Perut lapar bisa ditahan lebih lama. Om saya, Akhmar “Momon” Prakoso, yang dalam kurun waktu lama menjadi partner saya kulineran, tidak mau makan di kawasan Malioboro. Dia juga sedang tidak mau makan brongkos Kotik di sekitaran Gandekan. Dia ngotot ingin coba makanan bernama oseng mercon.

“Konon makanan itu pedes banget,” katanya bersemangat.

Dalam bayangan saya, oseng akan mirip dengan krengsengan. Tumis daging, dengan bumbu merah cenderung gelap, kental karena mlekoh, dan ada rasa manis sedikit dari kecap manis.

Masa itu belum ada Google Review atau Google Images, jadi saya tak punya bayangan seperti apa wujud oseng mercon ini. Kala itu juga belum ada Google Map, kami mengandalkan piranti bernama mulut orang. Setelah tanya-tanya, akhirnya tahu kalau oseng mercon itu ada di Jalan Ahmad Dahlan, tak jauh dari gedung Pusat Pimpinan Muhammadiyah.

Saya yang dibesarkan dengan makanan Jawa Timur, dan hampir setiap hari menyantap makanan pedas, tentu sedikit meremehkan oseng mercon ini. Dalam hati, saya membatin: pedasnya orang Yogya itu segimana, sih.

Ketika akhirnya ketemu Oseng-Oseng Mercon Bu Narti, saya melongok ke panci dengan rasa penasaran. Kuahnya tak sekental dan segelap krengsengan. Merahnya memang menggentarkan. Mayoritas isinya adalah daging tetelan alias gajih dan kikil. Banyak cabai berenang tenang, tapi malah memberikan aura intimidatif. Meski sedikit khawatir, saya masih dengan keyakinan kolot saya: masakan Yogya pasti ada rasa manisnya.

Kami pesan dua porsi oseng mercon, dua porsi nasi putih, satu teh hangat untuk Om Momon dan es teh manis untuk saya –yang ini adalah kesalahan besar.

Suapan pertama, tidak terasa pedas yang menggigit. Suapan kedua, hmmm, oke, ini pedas. Tapi enak, kok. Masih bisa dinikmati. Suapan ketika, lho kok makin menyengat? Saya minum es teh untuk meredakan kebakaran di lidah. Ini adalah gerbang menuju kawasan rasa sakit yang bikin kebakaran makin besar. Setelah es teh manis memberi plasebo barang sebentar, efeknya malah membahayakan. Rasa pedasnya jadi berlipat.

Keringat pelan-pelan muncul. Om Momon tahu saya mulai kewalahan dengan rasa pedas oseng ini.

“Jangan minum es, ntar rasa pedasnya makin nambah,” katanya cengengesan.

“Telaaaaat!” kata saya panik.

Ibarat pertarungan dua pendekar, saya sudah terdesak. Oseng merconnya sudah mengeluarkan jurus-jurus pamungkas yang tak lagi bisa saya ladeni. Saya melihat nasi sudah tinggal sedikit, sedang bumbu oseng masih banyak. Akhirnya bendera putih berkibar. Saya ambil potongan tetelan dan menyantapnya dengan nasi putih, tanpa menuangkan bumbu. Ini jalan terbaik.

Yang lebih mengerikan adalah efek lanjutannya. Perut panas, seperti ada yang berkemah di dalam sana dan membuat api unggun. Di perjalanan pulang menuju losmen, saya gelisah. Ini panggilan alam yang tak kuasa ditolak.

Anggapan lawas yang saya yakini, bahwa makanan Yogya manis, itu memang lahir dari kurangnya pengetahuan. Dan malam itu, saya belajar dengan cara yang pedih.

Sebenarnya anggapan bahwa makanan Yogya itu manis tak sepenuhnya salah. Ikon makanan Yogya itu gudeg, dan memang ia punya rasa manis yang bisa bikin orang bergidik. Jika merujuk ke sejarah, era tanam paksa Johannes Graaf van Den Bosch memaksa orang Jawa menanam tebu secara massal, termasuk di Yogyakarta. Merujuk buku Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), dalam kurun 1860-1930 saja ada 19 pabrik gula di Yogyakarta.