News - Saat menulis aktivisme politik perempuan di Nusantara, para sejarawan kerap bersandar pada Kongres Perempuan Indonesia pertama di awal abad ke-20.
Seperti tecermin dalam tulisan Mutiah Amini berjudul Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia 1928-1998 (2021), hal ini barangkali imbas dari cara berpikir arus utama sejarah modernisme politik Indonesia yang menjadikan kebijakan Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda dan merebaknya pendidikan di kalangan kaum Pribumi sebagai pijakan.
Masalahnya, kesadaran berpolitik di kalangan perempuan sebenarnya tidak melulu soal bagaimana hal itu dideskripsikan dalam pandangan Barat atau bagaimana kesadaran berpolitik perempuan diukur dari keikutsertaannya pada sistem politik modern. Melalui keterangan historis yang lebih lampau, sejarah aktivisme politik perempuan jauh dari itu.
Para pujangga Jawa, misalnya, sebagaimana dikutip J.L.A. Brandes pada komentarnya terhadap Serat Pararaton (1897), menyebut dan mengelukan sosok Ken Dedes sebagai ibunda para raja Tanah Jawa sejak abad ke-13 sampai menjelang kedatangan Islam pada abad ke-15.
Melalui tulisannya yang eksentrik, penulis Serat Pararaton seakan ingin menunjukkan dominasi politik perempuan melalui simbol "kemaluan yang berkilauan". Artinya, penulis Serat Pararaton sesungguhnya menempatkan Ken Dedes semacam monumen kemenangan kaum perempuan dalam perpolitikan via privilege reproduksi suksesi.
Sementara itu pada masa yang lebih berikutnya di Majapahit, duo ibu-anak Gayatri Rajapatni dan Tribhuwana Tunggadewi digambarkan lebih proaktif dalam berpolitik.
Menurut M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto pada Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), ibu dan anak bertangan dingin itu berhasil membawa kestabilan bagi Majapahit yang terjerat kemelut makar berkepanjangan pada masa pemerintahan dua penguasa laki-laki sebelum mereka.
Namun, perempuan-perempuan yang duduk di kursi kekuasaan seperti contoh di atas, sebenarnya dapat keuntungan dari hak hereditas yang mereka miliki.
Lantas apakah ada perempuan yang benar-benar memperjuangkan kedudukan politiknya tanpa harus memanfaatkan privilege yang ia miliki untuk mencapai posisi itu? Jawaban terdekatnya mungkin jatuh pada Mahendradatta, ibunda dari tiga raja besar di Tanah Jawa dan Bali.
Terkini Lainnya
Perjodohan Berbuah Manis
Perempuan Kuat yang Melahirkan Tiga Raja
Artikel Terkait
Nasib Sistem Zonasi Masih Terus Dikaji sebelum Tahun Ajaran Baru
Gus Ipul Sebut Banyak Warga Penerima Bansos Jadi Demotiviasi
KPK Sayangkan Hakim Kabulkan Gugatan Praperadilan Sahbirin Noor
Gus Ipul Akan Ikuti Mendagri soal Tunda Beri Bansos saat Pilkada
Populer
Korban Kecelakaan Tol Cipularang KM 92 Menjadi 30 Orang
Bareskrim Sita Aset Miliaran Milik Bos Judol Slot Jaringan Cina
Cawe-Cawe Prabowo di Pilkada Jateng Mengerdilkan Wibawa Presiden
Salah, Narasi Andika Perkasa Mengkhianati PDIP
Rumah Tapera dan Kisah Para Pejuang Rumah Pertama
DJP Ubah Jatuh Tempo Setor Pajak Penghasilan Setiap Tanggal 15
Layanan Lapor Mas Wapres Ala Gibran, Solusi atau Gimik Politik?
Kecelakaan Tol Cipularang: Penyebab hingga Jumlah Korban Terkini
Flash News
Nasib Sistem Zonasi Masih Terus Dikaji sebelum Tahun Ajaran Baru
Gus Ipul Sebut Banyak Warga Penerima Bansos Jadi Demotiviasi
KPK Sayangkan Hakim Kabulkan Gugatan Praperadilan Sahbirin Noor
Gus Ipul Akan Ikuti Mendagri soal Tunda Beri Bansos saat Pilkada
Pramono Tak Masalah Gagal Dapat Dukungan Warga Tanah Merah
Pramono Janji Relokasi Warga Tergusur Normalisasi Kali Ciliwung
Kejagung Sita Rp301,9 Miliar terkait Korupsi Duta Palma Group
Sahbirin Hadiri Apel Disebut Tak Berkaitan dengan Praperadilan
Komisi V Ingin Revisi UU LLAJ, Bahas Kecelakaan Tol Cipularang
Agus Andrianto Dapat Kenaikan Pangkat Jenderal Kehormatan
Jebol Terali, 7 Tahanan & Napi Narkoba Kabur dari Rutan Salemba
Kementerian ESDM Terima 128 Laporan Tambang Ilegal di Indonesia
Hakim Batalkan Status Tersangka Gubernur Kalsel Sahbirin Noor
Kadin Gelar Rapimnas Akhir November untuk Bahas Jadwal Munas
Kecelakaan Tol Cipularang: Penyebab hingga Jumlah Korban Terkini