News - Semua dimulai dari pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Hasto Wardoyo. Baru-baru ini, dia menyampaikan bahwa pemerintah berharap setiap perempuan bisa melahirkan rata-rata satu anak perempuan. Hal ini Hasto sampaikan merespons keadaan angka pernikahan yang menurun dari tahun ke tahun.

Menurut Hasto, terdapat atau terjadi perubahan persepsi tentang pernikahan saat ini, yang dianggap tradisi atau budaya yang tidak harus dilakukan. Ada beberapa penelitian, kata dia, menemukan bahwa keinginan menikah mengalami penurunan sehingga Total Fertility Rate (TFR) ada di angka 2,18.

Meski angka TFR di atas masih ideal, Hasto menyebut mitigasi untuk mengantisipasi krisis penduduk tetap perlu diupayakan dari sekarang. TFR alias angka kelahiran total adalah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan selama masa usia suburnya (15-49 tahun). Angka ideal TFR yakni sebesar 2,1, artinya dua orang anak yang dilahirkan akan menggantikan kedua orang tuanya.

“Secara nasional saya memiliki tanggung jawab agar penduduk tumbuh seimbang. Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata 1 perempuan. Kalau di desa ada 1000 perempuan, maka harus ada 1000 bayi perempuan lahir,” ujar Hasto lewat keterangan tertulis, dikutip Kamis (4/7/2024).

Tak ayal pernyataan Hasto di atas memantik kegeraman warganet di media sosial. Mereka menganggap pemerintah terlalu jauh mengatur ranah hak kebebasan individu. Ditambah, pemerintah seolah memaksa perempuan untuk hamil dan melahirkan anak perempuan.

Lagi-lagi perempuan dianggap negara memiliki peran sebatas memproduksi lebih banyak jumlah penduduk. Padahal, banyak persoalan layanan kesehatan reproduksi dan kehamilan belum dibenahi.

Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia juga masih tinggi, hingga saat ini, masih di kisaran 305 kematian per 100.000 Kelahiran Hidup. Belum mencapai target yang ditentukan pemerintah yakni 183 per 100.000 KH di 2024.

Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, menilai, pernyataan BKKBN merupakan bentuk pemerintah yang melangkah terlalu jauh dalam upaya mengendalikan rahim perempuan. Jika dilihat dari kacamata hak asasi manusia, pernyataan BKKBN adalah upaya kontrol yang melanggar prinsip kebebasan individu, khususnya terkait hak reproduksi.

“Seolah-olah negara-negara merasa berhak untuk ikut campur tangan dalam urusan privat masyarakatnya, warga negaranya. Dalam urusan pernikahan, dalam urusan punya anak atau tidak punya, anaknya berapa, punya anak berjenis kelamin apa,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Kamis (4/7/2024).

Hasto Wardoyo

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo. (FOTO/Dok. BKKBN)

Pernyataan BKKBN dinilai mengabaikan otonomi tubuh perempuan sekaligus memperkuat stereotip gender. Pemerintah melakukan intervensi pada tubuh perempuan dengan seolah meminta perempuan untuk selalu melahirkan.

“Ini mengingkari kembali hak atas ketubuhan perempuan untuk menentukan pilihannya sendiri dan mencerminkan ketidakpedulian terhadap reproduksi dan kesehatan perempuan,” ujar Annisa.

Lebih lanjut, Annisa memandang pemerintah ikut campur dalam urusan tujuan pernikahan masyarakat. Padahal, kata dia, saat ini tujuan pernikahan bukan cuma untuk memiliki keturunan atau prokreasi. Ada juga orang menikah untuk mencari kebahagiaan dan stabilitas ekonomi.

“Semua orang berhak untuk memilih untuk menikah ataupun tidak menikah dan tujuannya itu juga kembali lagi ke individunya masing-masing,” terang dia.

BKKBN diminta berfokus pada pemenuhan hak dan layanan kesehatan reproduksi, alih-alih terlalu ikut campur soal ketubuhan perempuan. Di sisi lain, kata Annisa, persoalan orang tidak mau menikah atau kurang ingin punya anak saat ini juga terjadi karena banyak faktor. Seharusnya negara menjamin keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dari setiap keluarga di Indonesia.

“Orang-orang tidak mau punya anak ataupun kurang mau punya anak saat ini minatnya menurun itu kan karena situasi ekonomi dan sosial, bahkan politik di Indonesia yang semakin rumit, yang semakin sulit, semuanya serba mahal,” tutur Annisa.