News - Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, menegaskan, penerapan perdagangan karbon di Indonesia harus berjalan optimal sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024. Ia juga menekankan pentingnya percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi, khususnya pada sektor-sektor yang ada di dalam Nationally Determine Contribution (NDC). Di antaranya, terkait energi, limbah, proses industri, serta penggunaan produk pertanian, kehutanan, dan sektor lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya blue carbon.
“Carbon Trading ini program presiden. Untuk itu akselerasi penting dilakukan sambil tetap memperhatikan arahan presiden, yaitu membentuk ekosistem ekonomi karbon yang berintegritas, inklusif, transparan dan berkeadilan,” kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (21/4/2024).
Moeldoko mengatakan percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi terkait perdagangan karbon dibutuhkan agar Indonesia bisa menangkap potensi ekonomi pasar yang besar, baik melalui perdagangan karbon secara bilateral maupun mekanisme bursa karbon.
Lebih lanjut, Panglima TNI 2013-2015 ini menambahkan, potensi perdagangan karbon di Indonesia sangat besar karena memiliki kekayaan alam khususnya dengan banyaknya hutan tropis, padang rumput beriklim sedang, serta keanekaragaman hayati laut dan pesisir (blue carbon) berupa mangrove, padang lamun, serta rumput laut yang dapat menjadi sumber penyerapan karbon dan sangat penting dalam mengatasi krisis iklim.
“Sumber daya kita besar, potensi pasarnya juga besar, demand sudah ada. Namun carbon trading dan bursa karbon belum berjalan sesuai harapan. Kendalanya ada di proses penyusunan dan harmonisasi regulasi, seperti terkait pajak karbon dan penetapan ambang batas emisi karbon (PT BAE) pada beberapa sektor. Ini yang harus segera diselesaikan,” kata dia.
Sementara itu, Dirjen PPI-KLHK, Laksmi Dewanti, menjelaskan dalam membuat regulasi, KLHK memastikan ukuran-ukuran yang ditetapkan dalam perdagangan karbon dapat berkontribusi pada pengurangan emisi sesuai target NDC dalam Paris Agreement.
Ia menuturkan ada dua bentuk perdagangan karbon yang bisa dilakukan di Indonesia. Pertama, perdagangan emisi. Di mana yang dijual adalah batas emisi atau persetujuan batas atas emisi. Kedua, offset emission, yakni perdagangan karbon yang mengacu pada transaksi jual beli sertifikat pengurangan emisi.
“Rencananya Juni 2024 ini KLHK akan melaunching Peraturan Menteri LHK terkait perdagangan karbon luar negeri hasil dari pilot project perdagangan karbon tersebut,” kata dia.
“Saat ini yang sudah berjalan dengan baik adalah Result Based Payment (RBP). Jadi Indonesia mendapatkan pembayaran atas kinerja dalam menjaga emisi Karbon, seperti pembayaran dari Green Climate Fund (GCF) dan Norwegia,” imbuh Laksmi.
Sebagai informasi, perdagangan karbon di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri LHK 21/2022. Perdagangan karbon melalui bursa diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Bursa Karbon Indonesia (BKI), pada 26 September 2023.
Terkini Lainnya
Artikel Terkait
Bappenas dan Pertamina Jalin Kerja Sama Energi Keberlanjutan
Nilai Perdagangan Bursa Karbon RI hingga 26 April 2024 Rp35,3 M
KemenESDM: Perpres Carbon Capture and Storage Terbit Bulan Depan
Target Transisi Energi Belum Tercapai, Arifin Salahkan Pandemi
Populer
Kejati Jatim: INKA Habiskan Rp28 M dalam Proyek Fiktif di Kongo
Jika Anies & Ahok Maju Pilgub Jakarta, KIM akan Usung Siapa?
Wakil Presiden ke-9 RI Hamzah Haz Meninggal Dunia
UU TNI Soal Prajurit Berbisnis, KSAD: Banyak Anggota Jadi Ojol
Pemerintah Akan Umumkan 7 KEK Baru, Salah Satunya Smelter di IKN
Adu Kuat PDIP Melawan Trah Jokowi di Gelanggang Pilwalkot Solo
Konsekuensi Besar, Keppres Pindah Ibu Kota Baiknya Tak Buru-Buru
Untung Rugi Wajib Ikut Asuransi TPL bagi Pemilik Kendaraan