News - Barangkali, jika 78 tahun silam dalam rapat PBNU yang dipimpin KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak menetapkan satu keputusan resolusi yang kita kenal dengan nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, maka kita hari ini tak dapat sepenuhnya merasakan kenikmatan sebagai bangsa merdeka yang diakui secara de facto maupun de jure.

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)”

Begitulah salah satu petikan dari Resolusi Jihad yang membuat Surabaya bergejolak dalam sekejap. Seruan jihad tersiar dari masjid, musala ke musala, hingga setiap inci pelosok Kota Surabaya. Arek-arek Suroboyo bersama para santri menyambutnya dengan sepenuh hati, seolah tak takut mati. Mereka membawa apa saja, bambu runcing, batu di tangan, hingga doa dalam genggaman untuk mengusir tentara sekutu dari tanah air Indonesia.