News - Kerajaan Majapahit meninggalkan banyak sisa peradaban, utamanya dalam bentuk bangunan keagamaan seperti candi. Karena awal perkembangannya di daerah Jawa Timur, maka tinggalan kerajaan ini umumnya ditemukan di daerah tersebut.

Sebagian dari tinggalan bangunan suci zaman Majapahit di Jawa Timur adalah candi pendharmaan. Keberadaan candi pendharmaan menurut Agus Aris Munandar dalam Catuspatha: Arkeologi Majapahit (2011) berhubungan dengan kultus istadewata yang berkembang saat itu.

Istadewata adalah bentuk pemujaan secara spesifik sosok dewa atau dewi Hindu/Buddha, dengan anggapan bahwa sang pemuja adalah manifestasi dari dewa/dewi yang mereka puja.

Maka itu, beberapa mendiang keluarga raja zaman Majapahit yang menganut teologi istadewata sering kali dibuatkan bangunan pemujaan dengan arca dewa/dewi perwujudan sang mendiang sebagai objek pemujaannya. Bangunan itulah yang disebut sebagai candi pendharmaan.

Candi pendharmaan yang ditemukan di Jawa Timur kebanyakan merupakan pendharmaan bagi raja-raja era Singhasari dan Majapahit. Beberapa yang paling terkenal adalah Candi Singosari pendharmaan bagi Raja Kertanegara, Candi Jago bagi Raja Wisnu Warddhana, dan Candi Rimbi bagi Tribhuwana Tunggadewi.

Dalam beberapa kasus, keluarga raja pun mendapat jatah untuk didharmakan, sebab mereka dianggap begitu berjasa atau sangat dihormati. Kasus seperti itu misalnya terjadi pada Gayatri Rajapatni, anak Raja Kertanegara dan permaisuri Raja Kertarajasa yang didharmakan di Candi Boyolangu sebagai Boddhisatwa Prajñaparamita.

Selain nama besar Rajapatni dan beberapa keluarga Raja Majapahit lain yang didharmakan setelah wafat, ada satu nama yang mungkin jarang disebut dalam pembahasan soal Majapahit.

Tokoh ini kendati tidak terlalu terkenal seperti Rajapatni, namun candi pendharmaannya lebih besar daripada milik Rajapatni. Dia adalah Wijayarajasa, paman sekaligus mertua Raja Hayam Wuruk yang didharmakan di Candi Surawana.