News - Pemerintahan Prabowo-Gibran membuka kemungkinan membentuk lembaga penyidik tunggal khusus untuk menangani kasus korupsi di Indonesia. Saat ini, diketahui terdapat tiga lembaga yang berwenang untuk menangani kasus korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengatakan ihwal pembentukan lembaga tunggal tersebut sudah diusulkan di internal pemerintahan. Wacana ini juga diklaim bertujuan agar tidak terjadi tumpah tindih terhadap penanganan perkara.

"Kenapa kita tidak menyatukan saja lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan di bidang tindak pidana korupsi," ujar Yusril usai menjadi narasumber dalam Seminar Inisiasi Perubahan ke-2 UU Tipikor atas Rekomendasi UNCAC di Gedung C1 KPK, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024).

Yusril lantas menyinggung ketika KPK pertama kali dibentuk untuk menangani kasus korupsi dengan pendekatan khusus dan kewenangan luar biasa. Saat itu, KPK memiliki spesifikasi, yaitu menangani tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik dan kasus dengan jumlah korupsi di atas Rp1 miliar.

Akan tetapi, dalam perkembangannya kewenangan KPK tersebut saat ini juga dimiliki oleh Polri maupun Kejaksaan Agung. Sehingga, menurut Yusril, kemungkinan untuk menentukan atau membentuk satu lembaga saja yang berwenang menangani korupsi bisa dilaksanakan.

Namun, alih-alih membentuk lembaga tunggal atau melebur menjadi satu, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang wacana tersebut. Karena menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, untuk meleburkan tiga lembaga yang punya kewenangan melakukan upaya penindakan terhadap kasus korupsi, harus didahului dengan proses yang sangat panjang.

"Pertanyaannya kalau dalam proses yang sangat panjang itu, bagaimana mengisi kekosongan terhadap proses transisi tersebut? Karena kami melihat lebih banyak kontraproduktif," ujar Dicky kepada Tirto, Rabu (11/12/2024).

Dicky mengatakan, perlu rasanya bagi pemerintah untuk melihat bahwa titik permasalahan daripada penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini adalah penegak hukum itu sendiri. Sebab, dari tiga penegak hukum yang ada justru tidak punya situasi koordinasi dan juga supervisi yang baik dalam konteks penegakan hukum.

"Kelemahannya selama ini tidak pernah ada isu implementasi terhadap kewenangan KPK ketika melakukan upaya koordinasi dan juga supervisi terhadap aparat penegak hukum lain," kata dia.

Karena jika melihat beberapa kasus besar yang ditangani oleh aparat penegak hukum, itu luput dari proses koordinasi dan juga supervisi dari KPK. Misalnya beberapa kasus besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung seperti halnya PT Asuransi Jiwasraya.

"Kita tahu bahwa dalam proses penyelidikan dan juga penyidikan sendiri, penyelidik di Kejaksaan Agung itu menyampaikan bahwa kerugian keuangan negara mencapai Rp16,8 triliun. Tetapi dalam proses eksekusinya itu belum berjalan maksimal," katanya.

Oleh karena itu, perlu ada evaluasi bahwa Kejaksaan Agung secara kinerja perlu ada penopang. Penopangnya dapat dari proses koordinasi dan juga supervisi yang seharusnya bisa dilakukan KPK.

"Meskipun itu kemudian sudah ada dan diatur dalam ketentuan dalam Undang-Undang KPK, tapi kita tahu bahwa tidak cukup rasanya, tidak efektif rasanya jika kemudian tiga lembaga penegak hukum ini kesemuanya berasal dari eksekutif, atau berada dalam rumah kekuasaan eksekutif," jelas Dicky.