News - Rencana DPR RI mengevaluasi kinerja dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti menabur garam pada luka. Belum reda kemarahan rakyat atas sikap DPR dan pemerintah yang mencoba mengabaikan putusan MK Nomor 60/2024 dan 70/2024 lewat agenda revisi UU Pilkada, kini pembentuk undang-undang kembali berulah.

Masyarakat perlu mengawal dan siap siaga kembali bersuara ke jalan, bila sewaktu-waktu DPR dan pemerintah melakukan aksi ‘pembegalan konstitusi’ jilid dua. Sejumlah ahli hukum tata negara menyebut wacana mengevaluasi kinerja MK yang saat ini timbul ke permukaan, merupakan tindakan yang sarat politik kepentingan.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, misalnya, dia menilai bahwa wacana evaluasi MK yang muncul di Senayan – markas DPR RI – adalah bentuk serangan balik setelah batalnya rencana revisi UU Pilkada yang ditentang rakyat. Castro, sapaan akrabnya, menduga ada upaya melemahkan kewenangan MK melalui revisi UU MK yang saat ini tengah bergulir di DPR.

“Dan ini sudah diprediksi sebelumnya. DPR akan melakukan segala cara untuk menyandera MK. Padahal mereka lupa, justru putusan MK inilah yang memberi ruang bagi demokrasi untuk bertahan dari para kartel politik,” kata Castro saat dihubungi reporter Tirto, Senin (2/9/2024).

Pertanyaannya, kata Castro, kenapa harus menunggu putusan MK dulu baru ada sikap dari DPR dan pemerintah menjalankan hukum sesuai konstitusi. Padahal, DPR dan pemerintah punya kuasa legislasi untuk menyelamatkan demokrasi ketimbang menunggu tafsir dari MK.

“Upaya revisi UU MK ini pertanda DPR lebih mengedepankan syahwat politiknya dibanding konstruksi berpikir hukumnya. Itu jelas memalukan, serangan balik ini harus kita lawan,” ujar Castro.