News - Perusahaan mesti bersiap untuk menyesuaikan praktik pengelolaan data pribadi pengguna layanannya, menyusul segera berlaku penuhnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi pada bulan Oktober mendatang. Namun, kesiapan pemerintah untuk memonitor perusahaan-perusahaan masih dipertanyakan, mengingat belum terbentuknya lembaga independen yang dijanjikan.

Angel (30) kerap menerima penawaran dari salah satu perusahaan asuransi yang tidak ia pakai jasanya.

“(Mungkin) karena pakai layanan kartu kredit dari layanan bank yang ada kerja sama dengan asuransi itu ya, jadi sering ditawarin,” ceritanya kepada Tirto, Kamis (12/9/2024).

Intensitas penawarannya juga bisa sampai dua kali dalam seminggu. Menurut Angel, ini cukup mengganggu. “Sampai sering gak mau ngaku nasabah bank yang berhubungan dengan asuransi itu, biar cepat selesai teleponnya,” terang perempuan asal Jakarta itu.

Padahal, Angel selalu menghindari mencentang kolom yang menyatakan bersedia dikirimi penawaran dan promosi produk.

“Seinget gue tuh, kalau isi itu (formulir pendaftaran ataupun ketentuan kebijakan dari bank), selalu gak gue centang kesedian menerima promosi segala macam. Gak tau kalau dicentang bakal terima lebih banyak penawaran lagi atau gimana sih,” tambahnya.

Menyusul segera berlakunya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada Oktober 2024 mendatang, praktik telepon penawaran dari entitas bisnis yang tidak dikenali, masih banyak terjadi di masyarakat. Padahal, aturan ini meregulasi penggunaan data pribadi oleh perusahaan. Salah satunya, menjamin data pribadi seseorang digunakan sesuai dengan persetujuan dan tidak dibagikan perusahaan ke pihak lain, yang kemudian berujung dengan promosi program ataupun iklan.

Angel mengaku tahu soal UU PDP, namun terbatas pada perlindungan terhadap kebocoran data. Dia tidak mengetahui bahwa undang-undang tersebut juga menjamin haknya untuk meminta penghapusan/perbaikan data ke pengendali data jika ia merasa terganggu.