News - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah segera membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Amanat untuk menyusun UU baru tersebut disampaikan MK usai mengabulkan gugatan uji materi UU Cipta Kerja dalam Putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023.

Gugatan uji materi tersebut diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Para pemohon mengajukan 71 poin petitum yang terdiri dari tujuh klaster dalil. Beberapa dalil di antaranya mengenai penggunaan tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).

Dalam amar putusannya, MK setidaknya mengabulkan pengujian konstitusional atas 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dimohonkan.

MK selanjutnya memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.

“Dengan UU baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi atau substansi UU ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Merespon Putusan MK tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyatakan pihaknya siap menindaklanjutinya. Menurutnya, waktu dua tahun itu cukup untuk menyusun UU Ketenagakerjaan baru.

"Kami juga menunggu arahan dari pimpinan DPR RI untuk menindaklanjuti Putusan MK,” kata Edy dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, dikutip Senin (4/1/2024).