News - Kita barangkali perlu berterima kasih kepada Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia karena sudah membuktikan kekhawatiran masyarakat. Tanpa malu-malu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabinet Merah Putih ini mempertontonkan bahwa konsolidasi elite diwarnai dengan bancakan dan politik transaksional. Jika jatah kurang sreg, elite bisa saling lobi dan melakukan ‘tukar guling’ jabatan, sebagaimana yang Bahlil ungkapkan.

Dalam sambutannya di acara Tasyakuran HUT ke-60 Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Senin (21/10/2024), Bahlil Lahadalia bercerita, partai berlogo pohon beringin itu tukar guling jabatan dengan Partai Gerindra. Kesepakatannya, kader-kader Partai Golkar mengisi 8 kursi menteri dan 3 kursi wakil menteri dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto.

Sebagai gantinya, Partai Gerindra dapat mendudukkan kadernya di posisi Ketua MPR RI. Saat ini, Ketua MPR RI, adalah Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh kader Partai Golkar, Bambang Soesatyo alias Bamsoet.

Jika boleh jujur, pengakuan Bahlil tidak mengagetkan. Politik transaksional elite parpol kerap dilakukan untuk mengamankan kekuasaan. Jabatan menjadi sasaran untuk menguntungkan lingkaran mereka sendiri. Hal ini semacam rahasia umum dari cermin buram demokrasi kita hari ini. Maka dari itu, terima kasih kepada Bahlil, dia menarik pembicaraan sumir di warung kopi ke tempat yang terang benderang di muka publik.

Lantas, apakah akrobat elite semacam ini layak dilakukan di negara hukum dan demokrasi? Sejumlah pengamat politik justru khawatir praktik ini membuat demokrasi semakin sakit.

Sederhana saja, ‘tukar guling’ ala Bahlil membuat publik meragukan kapasitas para pejabat publik dari parpol yang bercokol sesuai pesanan. Keraguan ini sah-sah saja, karena praktik bancakan bagi-bagi kue kekuasaan bertolak belakang dari asas sistem meritokrasi.

Sosok yang ditaruh di jabatan publik bisa saja sekadar dipilih karena kedekatan, pengaruh, dan unjuk loyalitasnya. Jika begini siapa yang dirugikan? Tentu, kita semua sebagai rakyat.

Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai secara umum politik transaksional buruk untuk demokrasi. Pasalnya, kekayaan negara untuk pembiayaan birokrasi tidak ditujukan bagi kemajuan bangsa dengan memilih pejabat yang kompeten.

“Justru hanya dijadikan ajang bagi kekuasaan untuk sedikit elite yang punya kontribusi di pemenangan Pilpres,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (23/10/2024).

Dedi setuju bahwa pernyataan Bahlil di muka publik justru mengonfirmasi realitas politik di Indonesia saat ini. Bahkan, kata dia, keadaan ini menjadi praktik politik sejak lama dan tidak terjadi kemarin sore.