News - Besi dalam penulisan sejarah kebudayaan Indonesia merupakan salah satu jenis logam yang penting. Pasalnya, bahan logam ini sejak lama ditahbiskan menjadi nama periode sejarah Indonesia, yakni "Masa Perunggu dan Besi". Istilah ini barangkali menjadi mentereng setelah H.R. van Heekeren menerbitkan buku berjudul The Bronze-Iron Age of Indonesia (1958).

Menurut van Heekeren, masa berkembangnya teknologi pengolahan besi dan perunggu berkaitan erat dengan munculnya budaya neolitik (budaya penggarapan alat batu tingkat lanjut) dan kebudayaan bercocok tanam.

Dalam penggalian arkeologi, temuan perunggu dan besi senantiasa ditemukan dalam kondisi yang berdampingan, dan menjadi tesis utama para orientalis kolonial dalam menyebut peristiwa invasi Kebudayaan Dong Son ke wilayah Nusantara.

Dong Son merujuk pada satu situs arkeologi di Vietnam yang dianggap sebagai tolok ukur dari kebudayaan logam Nusantara, dengan acuan ciri khas temuan artefak nekara, mata tombak, belati, kapak sepatu, dan tinggalan lainnya.

Apabila van Heekeren menganggap besi menjadi satu kesatuan yang penting bersama dengan perunggu di masa protosejarah (masa peralihan prasejarah ke sejarah awal), pada hakikatnya nilai dari besi menjadi berkali-kali lipat bertambah di masa sejarah--utamanya di Pulau Jawa.

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan (2018), besi pada dasarnya merupakan logam langka bagi orang Jawa, lantaran sejak dulu sampai sekarang cadangan besi benar-benar tidak pernah ditemukan di Pulau Jawa.

“Di Jawa sama sekali tidak ada besi, dan sepanjang zaman prakolonial, hak mengerjakan besi dianggap melekat pada sekelompok pengrajin pemegang hak istimewa yang dianggap memiliki kekuatan gaib: pandé besi,” tulis Lombard.

Namun, fakta bahwa artefak berbahan besi kerap kali ditemukan dalam penggalian arkeologi dan juga lekatnya besi dalam budaya tosan aji di Pulau Jawa tentu bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata oleh para peneliti.