News - Palagan jelang pencoblosan Pemilu 2024 semakin sengit dan memanas. Level elite dan akar rumput pendukung ketiga paslon saling menggencarkan kampanye dan upaya di waktu yang tersisa. Gesekan persaingan elektoral ini tak ayal menimbulkan dugaan-dugaan pelanggaran dan intimidasi yang dilakukan untuk menjegal lawan.

Misalnya, pengakuan dari Co-captain Timnas Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), Sudirman Said, dan Deputi Pekerja Kreatif Timnas AMIN, Ivan Ahda, yang bercerita kepada Tirto soal intimidasi yang diterima jajaran tim dan pendukung paslon nomor urut 1 tersebut.

Keduanya menyambangi Tirto dalam program siniar bertajuk For Your Pemilu (FYP). Sudirman Said menyatakan bahwa terdapat tekanan-tekanan yang menyasar sejumlah calon donatur finansial Timnas AMIN. Belum lagi, beberapa acara yang akan diselenggarakan AMIN terasa dipersulit dan banyak mengalami hambatan.

Di sisi lain, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu bersyukur tekanan yang diterima pihaknya membuat kreativitas Timnas AMIN terasah. Ivan menilai, tekanan-tekanan tersebut membuat Tim Muda AMIN semakin bersemangat untuk mengkonsolidasikan narasi perubahan kepada para pemilih muda.

Sudirman juga menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai semakin terlihat memihak. Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat menyatakan bahwa dirinya dan menteri boleh berkampanye.

“Saya sih tidak ingin bicara sebagai salah satu pihak yang sedang berkontestasi, tapi sebagai warga negara, sekali lagi yang kebetulan diberi kesempatan untuk punya pendidikan dan bayar pajak. Kita ingin melihat presiden kita itu kembali pada marwah sebagai pemimpin, sebagai pengayom, sebagai teladan,” kata Sudirman di kantor Tirto.

Di sisi lain, Ivan berharap dengan mayoritas pemilih muda yang banyak, justru terjadi pendidikan politik dan etika di masyarakat. Dia mewanti-wanti agar pemilu tahun ini justru bukan menjadi pesta demokrasi lima tahunan terburuk.

“Jangan sampai ini jadi sejarah pemilu terburuk padahal anak muda itu menjadi pemilih dominan,” ungkap Ivan.

Lebih lanjut, keduanya bercerita soal hubungan kubu AMIN dengan kubu paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo – Mahfud MD yang semakin intens. Mungkinkah kedua kubu memiliki peluang bersatu? Berikut petikan wawancara Tirto bersama Sudirman Said dan Ivan Ahda:

Sudirman Said jelang pemilu sibuk apa?

Sudirman: Tentu saja yang paling prioritas adalah mendorong, terus membooster dukungan pemilih masyarakat. Jadi kita memang selalu memprioritaskan ketemu dengan masyarakat. Kebetulan kita berbagai tugas. Kandidatnya ketemu dalam forum-forum yang massal sifatnya.

Kami-kami ketemu dengan para penggerak di lapangan. Dan itu kita lakukan sejak 1,5 tahun lalu. Sampai sekarang juga kita teruskan. Jadi saya banyak waktu keliling daerah bertemu dengan simpul-simpul, kita menyebutnya sekarang pejuang perubahan.

Tapi juga menghubungkan antara elemen partai dengan ormas, dengan para relawan, dsb. Yang lainnya, sesuai dengan tugas saya dari dulu, memang mencoba menjahit atau menghubungkan berbagai stakeholder, termasuk komunitas internasional.

Karena kita memang kepingin sebanyak mungkin mata itu melihat pemilih kita. Mengapa begitu? Karena pemilih ini sangat penting. Tentu, pertama-tama bagi Indonesia.

Demokrasi mesti diselamatkan. Tapi juga penting bagi kawasan. Bahkan penting bagi dunia.

Kalau demokrasi Indonesia ini terganggu, saya kira sebagian negara yang dengan ukuran penduduk besar, jumlahnya besar, dan sebagian besar muslim itu juga menjadi sesuatu yang patut diperhatikan juga. Jadi kita juga komunikasi dengan berbagai organisasi atau institusi untuk menceritakan situasi kita seperti apa dan minta mereka, mengundang mereka memberikan satu atensi.

Salah satunya ke Amerika Serikat?

Sudirman: Salah satunya. Tapi saya pergi ke beberapa negara ASEAN juga. Kemudian bertemu dengan komunitas masyarakat Eropa. Diaspora-diaspora.

Bukan saja teman-teman warga Indonesia, tapi juga para pemerhati, para aktivis, dan juga para policymaker yang konsen pada demokrasi kita.

Bertemu konglomerat-konglomerat gitu?

Sudirman: Sekali-sekali ya. Kan kita tahu. Dan kan begini, bertemu konglomerat itu tidak harus konteksnya soal uang ya. Karena mereka juga butuh pandangan, butuh update.

Jadi kita bertemu dengan para pengusaha juga untuk menjelaskan suasana, menjelaskan progres, sekaligus menyampaikan pandangan-pandangan bahwa ya tentu mereka bertanya soal platform, program, segala macam. Jadi itu bagian yang juga saya kerjakan.

Sudirman Said dan Ivan Ahda

Wansus Padcasy FYP Sudirman Said dan Ivan Ahda. (News/Andhika Krisnuwardhana)

Goal enggak menjadi dukungan secara finansial?

Sudirman: Secara keseluruhan saya harus mengatakan memang semua orang bercerita bahwa para donatur potensial itu sangat sulit untuk bergerak. Kalau dikatakan terus terang, pesannya bukan saja harus mendukung salah satu, tapi juga dilarang atau jangan sampai mendukung yang lain.

Dan kami termasuk yang dikasih warning. Dukungan pada kami termasuk yang dikasih warning. Dan berkali-kali saya nyatakan kami simpati sepenuhnya kalau kemudian ada sikap-sikap yang sangat berhati-hati, karena memang yang dihadapi mereka, jangankan pengusaha. Para pimpinan partai pun mengalami tekanan luar biasa.

Jadi memang ini sesuatu yang sangat tidak biasa, sangat pribadi yang kita alami. Kalau Pak JK [Jusuf Kalla] sudah mulai bicara terus terang, belum pernah ada pemilihan umum seburuk sekarang ini. Dan itu harus menjadi satu informasi yang diketahui oleh masyarakat. Karena pemilihan adalah hak publik. Dan kalau penyelenggaranya begini kan sebenarnya kurang sehat.

Tekanan-tekanan ke AMIN bentuknya seperti apa?

Ivan: Jadi kalau saya dan teman-teman, ini ada elemen-elemen muda kita fokus memang mengawal bagaimana usaha kampanye ini sampai ke suara anak muda. Salah satu yang jadi concern kita adalah sebenarnya tren beberapa waktu terakhir itu kita cukup memberikan semangat.

Sebab, memang secara organik kita melihat teman-teman yang anak muda, yang awalnya silent majority ini, mulai bersuara. Dan momentum itu ketika debat itu sudah mulai berlangsung.

Jadi sampai kemarin kita secara rutin tuh, teman-teman muda, buat titik nobar debat, sudah kayak nobar main bola, Mas. Kalau selama ini kan nobar itu nobar bola ya. Ini nobar debat. Ini kan satu tradisi yang baru sekali ada. Dan kita ngerasa ini salah satu cara yang gampang.

Nah, tekanannya ada di mana? Nah, sebenarnya gini, kalau kita melihat suara anak muda itu bisa kita temukan, selain kami juga terjun ke daerah-daerah secara rutinnya, mungkin sudah lebih dari 50 titik di daerah, gitu ya. Tapi kita melihat di percakapan di media sosial. Ya, percakapan di media sosial lah. Tweet-tweet gitu.

Itu begitu intimidatifnya. Kita anak-anak muda yang di AMIN ini nggak pernah takut sekalipun. Tapi intimidatif lebih kemarin. Kita membayangkan bagaimana negara kita yang tingkat literasinya begitu challenging dan menantang, gitu ya, Mas. Tapi kemudian percakapan gagasan itu akhirnya kemudian kalah dengan percakapan, pokoknya nggak ngaruh, tetap ini. Pokoknya nggak ngaruh, dan seterusnya.

Nah, itu yang lebih kepada kemudian kita tuh jadi kayak resah dan, wah nggak, ini harus lebih nambah semangat lagi. Jadi sebenarnya kita ngerasa sejauh ini anak-anak muda itu lebih kepada kan kita harus manfaatin juga FOMO-nya ya. Fear of missing out itu kan. Kayak, wah kalau yang lain nih pada milih ini, kok enggak ada yang milih 01, segala macam. Tapi sekarang kita minta semua bersuara di semua platform yang mereka miliki.

Sudirman: Jadi menarik ya, saya sambung sedikit. Kalau tadi kan saya cerita soal kesulitan memperoleh support, tapi juga ada hikmahnya. Kita dalam keterbatasan kita sebagai Timnas ya, tetapi kemudian didukung oleh masyarakat umum, masyarakat apa? Organik-organik ya. Yang tidak kita mobilisasi, ternyata sumber daya mereka itu luar biasa.

Jadi kalau kita lihat di daerah-daerah itu, ya masyaallah, artinya kami setiap kali pulang dari kunjungan ke daerah, bertemu dengan tadi para penggerak, bertemu dengan kader, bertemu dengan orang-orang yang aktif di belakangan itu, seperti mendapat energi dobel gitu ya.

Kalau orang-orang itu yang dalam keterbatasan saja begitu semangat. Apalagi kita yang di level nasional. Jadi ada satu dinamika baru yang juga mungkin tidak ditemukan di tempat lain.

Justru akibat tekanan-tekanan yang berlebihan itu, kemudian muncul keberanian baru. Dan mungkin refleksi yang disampaikan Mas Ivan tadi adalah muncul di anak muda. Bahwa betapa pun tekanannya begitu keras.

Ivan: Juga banyak banget gerakan-gerakan yang suka rela, itu berbasis interest, hobi gitu kan, teman-teman. Itu benar-benar kalau kita ditanya, kita juga nggak tahu yang mulai siapa, siapa orang di balik ini. Karena itu bagian dari memang suara-suara anak muda yang memang tulus, pengen dukung aja.

Itu bahkan enggak diorkestrasi sama teman-teman Tim Muda, itu udah enggak ada sama sekali.

Sudirman Said dan Ivan Ahda

Wansus Padcasy FYP Sudirman Said dan Ivan Ahda. (News/Andhika Krisnuwardhana)

Soal videotron diturunkan itu emang karena kesalahan administrasi apa tekanan sih?

Ivan: Kalau dari cerita teman-teman, sebenarnya kan seandainya pun ada klausul enggak boleh buat politik, kan sebenarnya itu sesuatu yang bisa di-clearkan dari awal.

Itu yang disesalkan oleh teman-teman sebenarnya. Jadi akhirnya kemudian kan wajar ketika orang-orang punya prasangka yang lain-lain. Dan teman-teman ini bayangin, ini mereka tuh uangnya uang sendiri.

Patungan segala macam. Bahkan fundraising kita lakukan benar-benar kolektif aja. Jadi kita juga bayangin udah semangat segala macam, terus malah enggak ada segala macam. Dan hilang satu tumbuh seribu. Hilang satu tumbuh seribu.

Bagaimana menanggapi pernyataan presiden boleh berkampanye dari Pak Jokowi?

Sudirman: Saya sangat prihatin dengan sikap itu karena pertama respons publik kan luar biasa. Karena bagi saya, saya kira bagi kita semua orang-orang berpendidikan itu, betul presiden itu punya hak berkontestasi. Tapi dia juga punya kewajiban mengayomi seluruh rakyat.

Sehingga tugas terpenting dari seorang presiden adalah di samping dia mungkin punya hak asasi untuk mendorong siapapun, tapi juga dia punya tugas memimpin, memberikan teladan, meninggalkan legasi atas tindakan, kata-kata, perilaku, pilihan sikap yang bisa menjadi rujukan. Bukan saja sekarang, tapi juga nanti ke depan.

Jadi ketika seorang presiden mengatakan, Presiden boleh kampanye, boleh memihak, kata-kata. Ya konteksnya apa dulu? Secara undang-undang pemilu mengatakan begitu. Tapi ada undang-undang dasar 45 yang mengatakan presiden bersumpah akan memerintah dengan adil-adilnya, melindungi seluruh rakyat adil-adilnya, dan memberikan satu leadership yang mengayomi seluruhnya.

Ada tekanan-tekanan jelang pencoblosan Pemilu ini?

Sudirman: Ya, yang terjadi di Jogja umpamanya satu contoh ya. Tiba-tiba digeser di Sumatra Barat dulu. Jadi tentu akan ada upaya-upaya seperti itu.

Dulu waktu di Banten sampai secara kasar kan di tempat yang mau dipakai untuk syarat alhamdulillah, di lempari ular berkarung-karung gitu ya. Di tempatnya Pak Wahidin. Ini bagi kita sesuatu yang disayangkan ya, karena, saya sebutnya saja, karena sejak awal sinyal yang diberikan oleh pimpinan tersebut di negara itu bukan sinyal yang netral, tapi sinyal yang berpihak.

Jadi, seluruh tahapan yang sifatnya menghambat atau menghalangi kita itu sebetulnya konsekuensi dari pesan itu. Mudah-mudahan tidak berlanjut, mudah-mudahan. Tapi, ya kami menghadapinya dengan ya case by case lah bagaimana menghadapi ini.

Dan itu sebenarnya melatih keterampilan kita untuk bersiasat, beradaptasi. Jadi sesuatu yang, eh, kalau begini dihalangi bagaimana caranya? Itu membuat mereka yang di lapangan makin punya skill tambahan untuk beradaptasi berbagai masalah.