News - Arak-arakan awan dan tetes-tetes hujan tampak menghiasi Pulau Dewata pada Kamis (02/01/2025), tidak terkecuali di Terminal Ubung tempat para sopir Trans Metro Dewata (TMD) mencari uang sehari-harinya. Mereka duduk sambil memandang kelabunya langit, warna yang serupa nasib mereka setelah operasional TMD dihentikan.

Beberapa hari sebelum pergantian tahun, bus-bus TMD masih tampak hilir mudik di arteri jalan, mengangkut penumpang beraneka usia ke destinasi yang mereka tuju. Senyum lebar tampak di wajah para sopir ketika ada yang melangkah ke dalam bus. Bahkan, lelahnya perjalanan ke Ubud—salah satu pemberhentian terjauh—terbayarkan oleh ucapan terima kasih dari pengguna layanan TMD.

Hari ini, deru mesin bus yang sedang dipanaskan tak terdengar lagi. Bus-bus TMD hanya berjajar rapi di sisi kanan Terminal Ubung.

Ida Bagus Gede Putu Riyantana (41) tetap memikul tas dan berseragam lengkap pagi itu, menyusul rekan-rekannya yang sudah berdiri di depan jajaran bus. Sang sopir sudah tahu tentang penghentian layanan bus TMD, tapi dia masih berharap bisa kembali bekerja mengantar penumpang dari halte ke halte.

Kami kecewa. Namun, apa pun itu, kami percaya sama pimpinan, direksi, dan manajemen. Bahwa mukjizat itu masih ada, harapan itu masih ada. Terbukti dari arahan beliau [pimpinan] untuk kami bertahan dulu di sini, di samping tetap pimpinan dan direksi memperjuangkan semua ini supaya tetap berjalan,” kata Riyantana ketika ditemui kontributor Tirto di Terminal Ubung, Kamis (2/1/2025).

Riyantana menyebut bahwa TMD menjadi gantungan hidup lebih dari 300 sopir. Sambil menghela napas panjang, dia juga menyebut mekanik, satpam, tukang cuci bus, dan cleaning service yang hidupnya terpaut dengan operasional bus berwarna merah tersebut.

Pemikiran tentang kekecewaan penumpang TMD juga hadir dalam kepala Riyantana. Dia menyayangkan Pemerintah Provinsi Bali yang masih gamang mengambil keputusan. Padahal, masyarakat Bali dan bahkan wisata asing sangat terbantu oleh layanan TMD.

Kalau WNA, itu sudah pasti dia tidak ada informasi tentang tidak beroperasionalnya kendaraan ini. Yang mereka tahu, kendaraan ini murah, bisa ke enam koridor, dan jadi pilihan mereka,” ujarnya.

Jero Puri (52) adalah salah satu penumpang setia TMD semenjak layanan transpotasi umum tersebut diluncurkan pada 2020. Dia merupakan seorang penyandang disabilitas tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat panggilan di wilayah Desa Tohpati, Denpasar. Menurutnya, TMD amat membantu mobilitas banyak difabel sepertinya.

Saya hampir di kelima koridor sudah pernah. Tanggal 31 [Desember 2024] saat ke Tabanan, saya masih ngobrol sama sopir. Katanya, tanggal 1 [Januari 2025] masih tetap ada, arah ke Tabanan beroperasi. Ternyata saya balik, sudah tidak ada bus,” keluh Jero Puri.

Dengan TMD, Jero Puri hanya perlu membayar Rp2 ribu dengan kartu khusus disabilitas. Dia juga bisa berhemat dengan menggunakan layanan secara gratis selama 90 menit. Namun, setelah TMD berhenti beroperasi, Jero Puri harus merogoh koceklebih dalam—hingga Rp65 ribu—untuk bermobilisasi dengan ojek daring.

Jadinya sangat terhambat bepergian. Dengan berhentinya bus ini, biaya transportasi saya melonjak tinggi,” keluhnya.

Kondisi serupa juga dialami Budi Kurnia (75), seorang lansia asal Denpasar yang menggunakan TMD bersama anak dan istrinya. Budi memiliki toko di Tabanan sehingga harus bepergian rutin untuk memeriksa langsung kondisi usaha rintisannya tersebut.

Saya sangat keberatan kalau [TMD] ditutup. Pagi dan sore, saya pakai bus ini karena ada toko di Tabanan. Sebulan tiga kali, saya juga ke Ubud. Saya butuh sekali, terlebih saya sudah lansia,” kata Budi.

Kini, Budi terpaksa menggunakan sepeda motoruntuk ke Tabanan. Dia mengeluhkan durasi perjalanan yang lama dan kondisi jalanan yang terlalu ramai sehingga badannya cenderung sakit setelah mencapai tujuan.

Ini terpaksa naik sepeda motor. Saya harap bisa dikembalikan lagi (layanannya),” tukasnya.