News - Suatu hari di bulan Juni 1912, seorang lelaki bernama Ibrahim mendapat gelar adat Datuk Tan Malaka dalam sebuah upacara adat masyarakat Minangkabau yang berlangsung di Pandan Gadang, Sumatra Barat.

Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, ia mengenakan nama Tan Malaka sebagai identitasnya. Namun, perayaan upacara adat pada hari itu terasa kurang meriah. Sebab, sejatinya setelah pemberian gelar, acara dilanjutkan dengan prosesi mengikat diri dalam pertunangan. Untuk hal ini, Tan Malaka menolaknya.

"Menurut perkiraan kawan-kawannya, Tan Malaka tidak mau bertunangan karena ia [hanya] mau kawin dengan satu-satunya murid perempuan di sekolah guru, yakni Syarifah Nawawi," tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 (2000).

Nahas, cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahkan, saat merantau ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru Haarlem, ia rutin menyurati surat cinta untuk pujaan hatinya. Namun, tak satupun pernah terbalaskan. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi alasan utama cintanya ditolak.

Mengutip Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), pada tahun 1980 Harry A. Poeze--sejarawan yang banyak menulis buku tentang Tan Malaka--pernah menemui Syarifah untuk mencari tahu alasan dirinya menolak cinta dari laki-laki revolusioner yang pernah menaksirnya.

Namun, dalam pertemuan itu, tidak banyak informasi yang didapat. Ia hanya berkata, "Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh."