News - Sustainable living merupakan gaya hidup yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dunia. Tren gaya hidup tersebut digunakan untuk meminimalisir dampak buruk dari sampah plastik yang berkontribusi secara nyata terhadap perubahan iklim di bumi.

Plastik menjadi salah satu jenis sampah yang mendominasi di lingkungan masyarakat. Sifatnya yang mudah didapat, ringkas, serta murah, membuatnya menjadi alternatif bagi masyarakat saat berbelanja atau mengemas barang. Sampah plastik yang dibuang berupa kantong plastik, gelas plastik, sedotan plastik, dan lainnya.

The Ocean Clean Up memaparkan dalam lamannya bahwa diperkirakan 1,15 hingga 2,41 juta ton sampah plastik memasuki lautan setiap tahun. Sampah-sampah tersebut mengalir dari sungai yang bersumber dari penggunaan sehari-hari oleh masyarakat umum.

Secara fisik, plastik akan mengapung saat di tengah lautan dan tidak akan tenggelam begitu saja di laut. Plastik yang lebih kuat dan mengapung akan menunjukkan ketahanannya di lingkungan laut.

Hal itu juga memungkinkan plastik untuk diangkut dengan jarak yang lebih jauh. Plastik-plastik tersebut akan bertahan di permukaan laut yang kemudian akan terakumulasi di patch.

Patch adalah tempat akhir dari sampah-sampai plastik itu yang terkumpul di suatu tempat. Di seluruh dunia ini terdapat lima patch dan yang paling besar dinamakan The Great Pacific Garbage Patch. Ia terletak di tengah lautan Pasifik di antara Hawaii dan California dikutip dari The Ocean Clean Up.

Setelah sampah terakumulasi, mereka tidak akan meninggalkan daerah tersebut hingga terdegradasi menjadi mikroplastik yang lebih kecil. Padahal untuk mengurai plastik secara alami dibutuhkan waktu 1000 tahun lamanya. Saat ini, sampah plastik terhitung sebagai sampah yang paling lama terurai.

Sampah plastik menjadi musuh bagi perubahan iklim yang akhir-akhir ini sedang menjadi konsen bagi mayoritas masyarakat dunia. Plastik terbuat dari reaksi kimia. Ia merupakan polimer yaitu rantai panjang atom yang saling mengikat satu sama lain.

Untuk mengatasinya, masyarakat mulai berinisiatif untuk melakukan hal-hal kecil untuk menjaga lingkungan dan agar bumi masih tetap hijau. Seorang ekolog terkemuka, Lester R. Brown menawarkan ide untuk hidup dengan lebih ramah lingkungan dikutip dari American Scientist.

Pendiri Worldwatch Institute and Earth Policy Intitute ini menggambarkan kehidupan ramah lingkungan sebagai peralihan pada hal yang berbasis energi terbarukan, pemanfaatan kembali atau daur ulang dengan penggunaan sistem transportasi yang beragam.

Gaya hidup ramah lingkungan disebut juga dengan sustainable living life style. Hal tersebut menjadi tren di tahun 2019 akibat semakin banyak dampak negatif dari plastik yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Banyak orang menjalankan gaya hidup tersebut untuk meminimalisir dampak sampah plastik yang terus menggunung.

Berikut adalah tren sustainable living sebagai gaya hidup dilansir dari Antara:

1. Sustainability at home

Perubahan kecil selayaknya dapat dimulai dari rumah. Penggunaan barang-barang yang ramah lingkungan yang merupakan hasil dari daur ulang sampah sapat menjadi pilihan.

Selain itu, dapat juga memilih lampu dengan warna yang lebih ringan sehingga menghemat energi. Memasang jendela dengan jumlah yang besar juga dapat dilakukan untuk menghemat keperluan lampu.

Saat membeli furnitur rumah, pilihlah bahan yang dapat didaur ulang. Hindari barang-barang yang berasal dari plastik adalah kunci untuk melakukannya.

2. Sustainable food

Pada tahun 2019, telah banyak orang yang beralih pada makanan yang diklaim sebagai makanan organik. Hal tersebut dikarenakan makanan organik bebas dari bahan yang berbahaya seperti pestisida, fungisida, insektisida, dan sebagainya sehingga tidak mencemari lingkungan. Makanan organik juga menjanjikan dengan kandungan nutrisi dan gizi yang lebih baik.

3. Hadiah go green

Penggunaan air purifier dari tanaman menjadi salah satu bagian dari sustainable living life style. Menanam tanaman hijau tertentu seperti lidah mertua, bambu, dan lidah buaya dapat digunakan untuk mencegah polusi dan memurnikan udara.

4. Bepergian cerdas

Saat memutuskan untuk berpergian atau travelling ada baiknya untuk membawa tas belanja atau membawa botol plastik yang dapat digunakan secara berulang. Selain menghemat uang, hal ini merupakan upaya untuk menjaga lingkungan agar tetap hijau.

Selain itu, gunakan transportasi umum saat berpergian sehingga tidak berkontribusi dalam menambah polusi udara.

5. Pernikahan ramah lingkungan

Ada baiknya untuk mengurangi sampah salah satunya dengan mengalihkan undangan konvensional dengan menggunakan undangan digital. Upaya peralihan menuju digital ini bisa juga menekan biaya pengeluaran.

Bisa juga dengan membatasi penggunaan alat makan yang terbuat dari plastik dan memilih alat yang terbuat dari bahan alternatif yang dapat didaur ulang.

Upaya Pemerintah

We Forum memaparkan bahwa Indonesia menjadi negara nomor dua setelah Cina yang berkontribusi terhadap bertambahnya sampah plastik yang ada di dunia. Oleh karenaya, Pemerintah Indonesia turut mengeluarkan aturan untuk mengatasi hal tersebut.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengusulkan dan meminta kepada seluruh instansi pemerintah pusat maupun daerah untuk mengurangi penggunaan plastik. Plastik yang dimaksud adalah plastik sekali pakai yang berpengaruh besar terhadap pencemaran lingkungan.

“Ini memang bertahap, usulannya mulai 1 Februari untuk pemerintah pusat dengan jeda waktu selama enam bulan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, Kamis (12/12/2019) dikutip dari Antara.

Selain itu, pemerintah terus berupaya menangani sampah di laut dengan merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2018. Peraturan tersebut berisi tentang strategi dan upaya menangani sampah di laut dan dibentuknya badan-badan atau kelompok kerja yang melibatkan 16 kementrian dan lembaga.

Di Gianyar, Bali, Pemerintah juga membagikan tas belanja yang dapat digunakan berkali-kali untuk mengatasi sampah plastik sekali pakai di pasar tradisional. Mereka melakukan hal tersebut dengan merajuk pada sebuah penelitian yang menunjukkan pasar tradisional menjadi penghasil sampah plastik terbanyak.

“Sebagian besar sampah plastik bersumber dari pasar tradisional,” ungkap Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gianyar, I Wayan Subawa saat aksi Bali Resik Sampah Plastik di Pantai Saba, Minggu (24/11/2019) dikutip dari Antara.