News - Agenda regenerasi kepemimpinan partai politik di Indonesia tampaknya berjalan di tempat. Banyak parpol masih nyaman mempertahankan status quo demi menjaga stabilitas internal partai. Alhasil, demokratisasi di tubuh parpol mencerminkan demokrasi elitis.

Padahal, parpol seharusnya memahami bahwa mandeknya demokratisasi di internalnya juga bisa berpengaruh bagi iklim demokrasi negara secara umum.

Pemimpin parpol yang kemungkinan besar masih bakal bertengger di pucuk adalah Megawati Soekarnoputri. Ketua Umum PDIP itu sudah mendapatkan dukungan dari banyak kader dari berbagai daerah untuk agenda Kongres VI PDIP pada April mendatang. Sejumlah kader bahkan melakukan aksi cap jempol darah untuk mendukung Megawati kembali memimpin PDIP.

Jika Megawati terpilih lagi dalam Kongres VI PDIP, predikatnya sebagai pemimpin parpol paling lama di Indonesia semakin kokoh. Megawati menjadi ketua umum sejak awal PDIP berdiri pada 1999. Dalam agenda HUT Ke-52 PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025) pekan lalu, Megawati sendiri tampak masih percaya diri memimpin PDIP.

Dalam kesempatan itu, dia sempat menyinggung permintaan kader untuk kembali menjadi Ketua Umum PDIP. Namun, Megawati berkelakar bahwa ada pihak yang juga mengincar kursi pimpinan PDIP. Dia bergurau bahwa tidak mau menjadi Ketua Umum PDIP jika kader tidak solid dan kompak.

Minta saya ketua umum lagi, ketum lagi, tetapi nek anak buahku ngene kabeh [tidak solid], emoh,” ucap Megawati.

Tak tergoyahkannya posisi Megawati di PDIP menebalkan bahwa parpol di Indonesia memang kadung betah memelihara status quo kekuasaan. Sayangnya, sejumlah pengamat politik menilai praktik itu bukan tanpa efek samping. Mandeknya regenerasi kepemimpinan parpol justru menandai kebuntuan dan lemahnya komitmen partai pada demokrasi.