News - “Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman pemerintahan rakyat. Raja tidak boleh memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah!”

Kata-kata keras yang dikutip Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997: 150) itu keluar dari guratan pena seorang ningrat Jawa dengan status sosial yang amat tinggi. Ia adalah Raden Mas Soerjopranoto Soerjaningrat, pangeran utama Praja Pakualaman di Yogyakarta.

Tulisan Soerjopranoto merupakan pembuka dari maklumat berdirinya Personeel Fabrieks Bond (PFB). Serikat buruh yang berafiliasi dengan Sarekat Islam (SI) ini sebenarnya sudah hadir sejak setahun sebelumnya, tetapi baru pada November 1918 diumumkan secara resmi.

Meskipun menyandang gelar pangeran dan statusnya disejajarkan dengan orang-orang Eropa yang hidup di Hindia Belanda, Soerjopranoto tampaknya tidak menyukai gemerlap kehidupan istana.

Adiknya, Soewardi Soerjaningrat (kelak dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara), juga sama saja. Dua pangeran Pakualaman ini justru memilih berkubang di ranah pergerakan nasional demi membela kaum kromo—rakyat jelata yang ditindas feodalisme dan kolonialisme.