News - Perebutan suara pemilihan legislatif (Pileg) 2024 telah lewat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sudah mengumumkan hasil rekapitulasi suara di tingkat nasional pada 20 Maret 2024. Kita tahu, saat ini palagan berlanjut dalam sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Kita pun tahu --setidaknya bisa diprediksi– Pemilu 2024 masih belum mengakomodir keterwakilan kursi calon legislatif (caleg) perempuan dengan sepenuhnya.

Padahal, sudah ada kebijakan afirmasi bagi caleg perempuan dengan hadirnya Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Yakni keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari daftar calon legislatif dari partai politik di setiap dapil (daerah pemilihan). Sayangnya, pada Pemilu 2024, kebijakan afirmasi ini jadi terlihat setengah hati dengan hadirnya aturan main baru yang dikeluarkan KPU.

Pada pertengahan 2023, KPU sempat mengubah ketentuan penghitungan kuota 30 persen jumlah bakal caleg perempuan melalui Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Melalui peraturan itu, KPU mengubah cara penghitungan jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil.

Aturan ini mengubah pembulatan ke atas hasil penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di dapil jika menghasilkan angka pecahan, menjadi pembulatan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma hasil penghitungan bernilai kurang dari 50. Sejumlah pengamat pemilu menilai metode ini berdampak pada berkurangnya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan pada pencalonan anggota legislatif.

“Dalam PKPU pencalonan yang lalu terdapat klausul jumlah pencalonan perempuan dengan mekanisme pembulatan ke bawah. Kemudian masyarakat sipil sudah melakukan JR [judicial review] dan berhasil diterima MA [Mahkamah Agung] namun tetap saja aturan dalam penyelenggaraan pemilu tidak berubah,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, kepada reporter Tirto, Selasa (2/4/2024).

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan menggugat PKPU tersebut ke MA. Dalam putusannya, MA mengabulkan gugatan masyarakat sipil sehingga parpol harus tetap memenuhi ketentuan 30 persen jumlah caleg perempuan dengan model penghitungan sebelumnya. KPU sendiri sudah berkali-kali menyatakan akan merevisi aturan main ini, namun ternyata hanya sekadar manis di bibir.

Mita, sapaan akrabnya, menilai hal ini menjadi refleksi bahwa jumlah kuota 30 persen bagi caleg perempuan yang sudah diatur oleh UU Pemilu tidak boleh dikurangi atau dimodifikasi. Namun, jika proporsi angka dinaikkan akan jauh lebih baik. Tetapi, itu pun perlu diiringi komitmen parpol dan penyelenggaran pemilu untuk mewujudkannya.

“Namun mematuhi ketentuan UU akan jauh lebih baik,” kata Mita.

Melihat hasil perhitungan suara, Mita memandang kursi DPR untuk caleg perempuan di tahun ini memang akan mengalami peningkatan. Bisa jadi, menurut dia, caleg perempuan terpilih di DPR dapat melebihi angka di DPD untuk tahun ini. Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 kursi anggota DPR.

Adapun di DPD pada 2019, angka caleg perempuan terpilih sebesar 30,9 persen atau sebanyak 42 perempuan. Dari 34 Provinsi, ada delapan provinsi yang sama sekali tidak terdapat calon anggota DPD perempuan terpilih.

“DPR RI legislatif hari ini [2024] angkanya naik 1,34 persen. 129 dari 580 kursi di DPR RI. Untuk DPD kami masih menunggu hasil dari putusan MK terkait sengketa hasil,” jelas Mita.