News - Revitalisasi Benteng Baluwarti yang mengelilingi Keraton Yogyakarta telah dimulai. Bagian benteng yang hancur karena serangan pasukan Inggris dibangun kembali. Peristiwa penyerangan itu dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Sepehi yang terjadi lebih dari dua abad lalu.

Benteng ini memiliki tebal tembok empat meter, membentang dari timur ke barat sejauh 1.200 meter dan utara ke selatan sejauh 940 meter.

Pembangunan Keraton

Setelah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III, sementara Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Setelah perjanjian, Sri Susuhan Pakubuwana III menguasai setengah wilayah Kesultanan Mataram dan tetap berkedudukan di Surakarta, sedangkan Hamengkubuwana I menguasai setengah Mataram lainnya dan berkedudukan di Yogyakarta.

Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri itu belum memiliki keraton sebagai tempat raja memimpin jalannya pemerintahan. Maka itu, Sri Sultan Hamengkubuwana I kemudian memerintahkan pembangunan keraton yang dilakukan secara bertahap.

“Pada tahun 1755, Hamengkubuwana I pindah ke Yogyakarta dan membangun sebuah istana pada tahun 1756,” tulis M.C. Riclefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008 (2022, hlm. 218).

Sebelum tinggal dan memerintah di keraton, Sri Sultan Hamengkubuwana I beserta rombongan tinggal di pesanggrahan Ambar Ketawang. Hamengkubuwana I memilih satu tempat yang kelak berdiri keraton di satu hutan yang dikenal dengan sebutan Hutan Beringan. Di hutan tersebut ada satu desa yang bernama Desa Pacetokan.

“Di dekat desa itu, Sunan Amangkurat IV pernah dibangun pesanggrahan yang bernama Garjitawati atau Ngayogya,” tulis Djoko Soekiman dan kawan-kawan dalam Gedung Agung Yogyakarta (Istana Kepresidenan di Yogyakarta), (1983, hlm. 10).

Tempat itu dipilih oleh Hamengkubuwana I karena pesan dari penunggu Hutan Beringan yang diinformasikan oleh seorang pencari rumput bahwa lokasi itu baik untuk dijadikan keraton, tanahnya rata dan landai, terletak di antara dua aliran sungai. Tempat itu juga awal Hamengkubuwana I mendeklarasikan dirinya sebagai “Susuhan Ing Mataram”.

Setelah membuka Hutan Beringan, pembangunan keraton dimulai pada 9 Oktober 1755 dan memakan waktu hampir setahun. Sri Sultan Hamengkubuwana I lalu mulai menempati istana baru pada 7 Oktober 1756. Hal itu diperkuat dengan adanya candrasengkala atau sengkalan yang berada di sekitar bangunan keraton.

“Perpindahan Pangeran Mangkubumi dari pesanggrahan Ambar Ketawang ditandai dengan candrasengkala memet berupa arca dua naga yang ekornya saling berlilitan. Candrasengkala tersebut berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal yang mengandung makna angka tahun Jawa 1682 atau 1756 M,” tulis I.G.P. Anom dan kawan-kawan dalam Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I (1996, hlm. 134).