News - Ibu kota di Nusantara masa kuno bukan sekadar kota tempat berpusatnya pemerintahan suatu kerajaan. Lebih dari itu, ibu kota juga dianggap sebagai pusat kekuatan magis dari sistem mikrokosmos yang diadopsi dalam penataan lahan geopolitik kerajaan masa Hindu-Buddha.

Seperti disebut oleh O.W. Wolters dalam History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives (1982), sejak lama masyarakat Asia Tenggara telah mengenal konsep mandala—sistem geopolitik konsentris terdesentralisasi, pusat pemerintahan dipandang sebagai axis mundi (pusat jagat).

Konsekuensinya, ibu kota di masa lampau bukan saja memiliki fungsi pragmatis, tapi juga fungsi dogmatis dari suatu masyarakat. Tidak mengherankan jika kota-kota kuno di Indonesia yang dahulunya merupakan ibu kota kerajaan sering kali memiliki komponen-komponen simbolis.

Kasus itu misalnya bisa dijumpai di Kota Yogyakarta yang memiliki sumbu filosofis, yakni garis lurus dari utara ke selatan yang melewati Gunung Merapi, Tugu Golong-Gilig, Keraton, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan.

Namun demikian, untuk mencapai ibu kota yang memenuhi aspek pragmatis dan dogmatis itu, manusia Nusantara sejak dahulu telah memiliki teknologi perencanaan tata kelola lahan. Pengetahuan-pengetahuan itu terekam dalam cerita-cerita pembangunan ibu kota di dalam sumber-sumber historis.

Persiapan-persiapan itu melibatkan aktor-aktor cendekiawan, yang sebagian dari cendekiawan itu nantinya dikenal bukan sebagai "planolog", tapi malah tokoh-tokoh sejarah yang monumental.