News - Pandemi Covid-19 dan ditetapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) beberapa tahun lalu membuat sejumlah orang menekuni hobi bersepeda. Data dari Kementerian Perhubungan tahun 2020 menyatakan tren bersepeda mengalami lonjakan jumlah pengguna hingga 1000 persen.

Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pesepeda terbesar ke-8 di dunia. Kenyataan ini mungkin tidak pernah terbayang di benak warga Belanda yang untuk pertama kalinya memperkenalkan sepeda pada masyarakat bumiputra.

Pengaruh Belanda dan Jepang

Sepeda sudah melintas di jalanan Hindia Belanda sejak 1910 dan meraih puncak popularitasnya pada dekade 1950 hingga 1970. Awalnya sepeda yang digunakan oleh masyarakat adalah produk buatan Belanda dan diimpor langsung dari negeri tersebut, di antaranya bermerek Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle.

Banyaknya sepeda yang dipasok dari Belanda, selain karena Hindia Belanda adalah koloni negara tersebut, juga karena sejak 1925 Belanda sudah menjadi Negeri Sepeda, sejumlah pabrik sepeda berskala internasional didirikan dan warga sangat menggandrunginya, bahkan menjadi ikon budaya mereka.

Seturut Tjong Tjin Tai dkk dalam "How the Netherlands Became A Bicycle Nation" (2015:1), sebelum 1931 sekira 58 persen sepeda yang digunakan warga Belanda merupakan buatan dalam negeri, tapi pada 1931 angka tersebut melonjak hingga 99 persen. Pada 1939, dari 8,7 juta penduduk Belanda, 38 persennya atau sekitar 3,3 juta jiwa memiliki sepeda.

Sementara menurut Dedi Arman dalam "Kisah Sepeda Onthel Merek Banteng", dalam perkembangannya sepeda-sepeda yang masuk ke Hindia Belanda bukan hanya produk Belanda, tapi juga merek-merek asal Inggris dan Jerman, seperti Humber, Phillips, Raleigh, Göricke, dan Fahrrad.

Sepeda berbagai merek itu dipasarkan pasca Perang Dunia I oleh perusahaan-perusahaan dagang Eropa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar.

Pada 1937 jalan-jalan di Jakarta makin banyak dilalui sepeda. Jumlahnya diperkirakan 70 ribu unit. Pada tahun yang sama di Surabaya jumlahnya sekitar 36 ribu unit. Sementara itu di Bandung pada 1942 terdapat lebih dari 40 ribu unit.

Pada 1942 ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, muncul larangan menggunakan sepeda buatan Eropa. Sebagai gantinya, pemerintah pendudukan Jepang membuka keran impor sepeda buatan negeri mereka. Merek-merek seperti Bike Pals, Club, Milton, Oryx, Prima, Wee Bee, dan Woodcock menggantikan sepeda buatan Eropa.

Seturut M. C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001:249), sejak merebut Indonesia dari tangan Belanda, Jepang memang memprioritaskan dua kebijakan yang searah, yaitu memobilisasi rakyat Indonesia dalam Perang Asia Timur Raya dan menghapuskan pengaruh Barat.