News - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan dalam beberapa hari terakhir. Mata uang Garuda bahkan kembali nyaris menyentuh Rp16.000 per dolar AS pada pembukaan perdagangan pagi Rabu (3/4/2024) kemarin.

Mengutip data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah dibuka melemah 0,21 persen ke Rp15.931. Sementara dalam penutupan perdagangan sore, mata uang rupiah melemah 23 poin di level Rp15.920 dari penutupan sebelumnya yakni Rp15.897 per dolar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Edi Susianto, mengatakan, beberapa mata uang Asia belakangan ini mengalami pelemahan terhadap dolar AS, termasuk rupiah. Faktor pelemahan ini pun sejalan dengan melemahnya beberapa mata uang Asia lainnya.

Dari sisi global, ada sentimen penguatan dolar AS akibat adanya ekspektasi penurunan terhadap Fed Funds Rate (FFR). Ditambah bank sentral Cina yang sepertinya juga membuka ruang pelemahan atas mata uangnya, CNY.

Sementara dari sisi domestik ada peningkatan pembelian dolar terkait siklus repatriasi. Di samping juga asing cenderung membawa arus modal keluar bersih atau net capital outflow.

Rupiah melemah terhadap dolar AS

Petugas menunjukkan uang dolar AS di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Selasa (10/10/2023). ANTARA FOTO/Bagus Ahmad Rizaldi/sgd/YU

Selain itu, rilis data inflasi yang di atas ekspektasi ikut mendorong pelemahan rupiah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka inflasi pada Maret 2024 mencapai 3,05 persen secara year on year atau tahunan.

"Poin penting adalah saya melihat pelemahan rupiah ini masih sejalan dengan pergerakan pelemahan mata uang Asia lainnya," kata Edi kepada Tirto, Rabu (3/4/2023).

Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, melihat rupiah masih akan berpotensi melemah dalam beberapa waktu ke depan. Ini disinyalir akibat data ekonomi AS yang dirilis masih menunjukkan perekonomian negeri Paman Sam tersebut cukup solid.

Data jumlah lowongan pekerjaan AS di bulan Februari dirilis lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Data pesanan pabrik bulan Februari bahkan rebound dibandingkan bulan sebelumnya yang menurun.

Kondisi tersebut tentu saja, mendukung kebijakan The Fed untuk menahan suku bunga acuannya lebih lama. Yield obligasi AS terutama tenor 10 tahun juga masih bertahan di level tinggi di kisaran 4,3 persen, sehingga aset dolar AS masih menarik untuk pasar.

"Indeks saham Asia sebagai aset berisiko terlihat bergerak negatif. Ini bisa mengindikasikan pasar sedang menghindari aset berisiko. Rupiah bisa tertekan," kata Ariston.

Selain itu, ketegangan geopolitik yang masih tinggi setelah serangan Israel ke konsulat Iran di Suriah juga masih bisa mendorong penguatan dolar AS sebagai aset aman, terhadap nilai tukar lainnya.

"Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini memang tidak bisa dihindari karena faktor eksternal dan internal yang saat ini sedang berlangsung," pungkas Ariston.