News - Kupatan salah satu budaya masyarakat Jawa yang pertama kali diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Kupatan erat kaitannya dengan hari raya Idul Fitri.

Menurut laman Nahdlatul Ulama NU Online Banten Ketupat menjadi simbol perayaan hari raya Idulfitri pada masa kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Kata kupat berasal dari akronim dari bahasa Jawa ngaku lepat yang artinya mengaku salah. Kata kupat juga dimaknai berasal dari kata dasar khufadz yang memiliki arti menjaga.

Sehingga jika disimpulkan adalah ketika seseorang mengakui kesalahannya, diharapkan ke depannya dia akan menjaga diri dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Inilah mengapa masyarakat Jawa saat hari raya Idul Fitri mengadakan prosesi sungkeman kepada orang tua untuk memohon ampun atas kesalahan yang telah atau mungkin diperbuat.

Tradisi ini oleh Sunan Kalijaga kemudian dimanifestasikan dalam pembuatan ketupat, ketupat berbentuk segi empat melambangkan empat arah mata angin (kiblat papat).

Maksudnya, dari empat penjuru mata angin manusia ada yang menjaga dan mengikuti yang dikenal dengan sebutan sedulur papat dalam pandangan kosmologi manusia Nusantara. Wali Songo mengingatkan bahwa kehidupan ini senantiasa diawasi dan dicatat oleh malaikat atau sedulur papat.

Mengutip laman Syiar Karya Literasi (Syakal) IAIN Kediri bahwa kala itu Sunan Kalijaga membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Idul Fitri dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Idul Fitri.

Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.

Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.