News - Pada musim panas 1988, David Dein bertemu Greg Dyke di Suntory, sebuah restoran Jepang yang terletak di ujung barat London. Dein merupakan petinggi Arsenal, sementara Dyke punya posisi penting, yakni Direktur London Weekend Television (LWT) dan CEO ITV.

Datang dengan kemeja polos dan celana hitam, Dein membawa agenda negosiasi setelah Arsenal dan empat klub besar Inggris lain—Manchester United, Liverpool, Everton, dan Tottenham—gagal mendapat kesepakatan memuaskan dengan BSB, stasiun televisi satelit lain yang ingin mengkomersialkan sepak bola Inggris. Sementara Dyke yang berkostum lebih formal melihat adanya kesempatan untuk mengangkat reputasi LWT dengan memanfaatkan ambisi lima klub besar Inggris meraup uang dari siaran TV.

Dyke mengenang pertemuan itu dengan memuji Dein dengan sebutan "lelaki paling revolusioner yang pernah aku temui selama bersinggungan dengan sepakbola". Sedangkan Dein menyebut Dyke sebagai orang yang benar-benar tidak suka basa-basi. “Greg adalah seorang penembak jitu. Dia langsung mengarahkan semua ke sasaran. Kami sebenarnya adalah dua hantu yang baik hati,” kenang Dein seperti dikutip Joshua Robinson dan Jonathan Clegg dalam The Club: How the English Premier League Became the Wildest, Richest, Most Disruptive Force in Sport(2018).

Tak perlu lama bagi keduanya untuk menyepakati rencana tuntutan ke Football Association (FA), federasi sepakbola Inggris, agar merestui liga baru yang lebih komersial dan menguntungkan keuangan klub. Dein kemudian membawa hasil negosiasi itu dalam pertemuan dengan empat klub lain. Sayang, tuntutan itu belum mengubah apapun. Terlepas dari lima klub yang ngebet membikin liga baru, ditambah enam klub lain termasuk West Ham dan Newcastle United, klub-klub lain di divisi teratas yang mengetahui adanya pertemuan dengan Dyke memandang upaya Dein dan kawan-kawan sebatas pengkhianatan.

Mereka juga datang dengan konsep liga yang serba mengawang-ngawang, sehingga keraguan masih muncul dari klub-klub yang punya hubungan baik dengan komite The Football League (EFL). “Kita tidak akan bisa memenangkan negosiasi ini. Saat ini EFL terorganisasi dengan baik. Kita tidak mungkin menawarkan hal yang bisa menyainginya,” kata Dyke di hadapan lima klub besar Inggris seperti dikutip Robinson dan Clegg.

Alhasil, usulan liga baru ditolak mentah-mentah oleh FA.

Namun proses tidak berhenti. Meski gagal, Dyke dan lima klub besar terus mematangkan konsep dan kerangka liga baru. Di saat bersamaan, FA dan klub-klub Inggris secara umum mulai kerap berselisih paham dengan orang-orang di komite EFL.

Momen itu tak disia-siakan. Memasuki 1990, Dyke dan lima klub besar Inggris mulai memublikasikan rencana mereka dan satu per satu klub divisi teratas tertarik untuk bergabung.

Puncaknya terjadi pada 17 Juli 1991. Lima klub besar yang jadi inisiator Premier League—dengan dukungan mutlak seluruh klub lain di divisi teratas—berhasil menyepakati poin-poin penting dengan FA terkait kompetisi baru yang lebih menguntungkan. Maka lahirlah Premier League (PL), liga yang punya kemandirian konstitusional dan komersial, di mana setiap klub punya suara setara (satu klub satu suara). Liga ini juga diplot sebagai kompetisi di atas EFL alias dihitung sebagai divisi teratas.

Kemudian pada 20 Februari 1992, tepat hari ini 27 tahun lalu, Premier League resmi digulirkan FA dan 22 klub Inggris sebagai kompetisi sepakbola tertinggi di negeri Tiga Singa.