News - Jembatan Merah Surabaya adalah simbol penting di Kota Pahlawan. Sebagaimana Tugu Pahlawan, Jembatan Merah Surabaya yang melintas di atas sungai Kalimas menyimpan memori pertempuran 10 November 1945.

Tempat ini bahkan bisa disebut sebagai salah satu petilasan yang menjadi "saksi" sejarah perkembangan Kota Surabaya sejak era kolonial. Sejarah Jembatan Merah Surabaya telah melintas rentang waktu panjang, sejak era VOC hingga Indonesia merdeka.

Sarkawi B. Husain dalam Negara di Tengah Kota (2010), menyampaikan bahwa Jembatan Merah bukan hanya sekedar sarana penunjang transportasi bagi masyarakat di Surabaya. Meskipun agak sulit melacak asal-usul Jembatan Merah Surabaya, banyak dokumen yang menunjukkan tempat ini memainkan peran vital sejak ratusan tahun lalu.

Menurut Sarkawi, Jembatan Merah Surabaya adalah contoh bangunan yang sebelumnya telah lama berdiri, tetapi karena sebab-sebab khusus, beralih menjadi simbol penting bagi penduduk kota. Penyebab khusus itu adalah pertempuran 10 November 1945.

Untuk menelusuri sejarah kronologi Jembatan Merah Surabaya sejak awal berdiri hingga menjadi simbol penting pada tahun 1945, simak terus ulasannya di sini.

Sejarah Jembatan Merah Surabaya

Jembatan Merah Surabaya kini menjadi penghubung Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun. Sejak lama, kawasan di sekitar Jembatan Merah menjadi salah satu pusat niaga yang ramai di Surabaya.

Di sekitar jembatan ini, sekarang masih berdiri banyak bangunan bersejarah. Tidak jauh dari Jembatan Merah, lestari pula kompleks Kota Tua Surabaya.

Sejarah Jembatan Merah di Surabaya bisa dilacak hingga era VOC berkuasa. Namun, asal usul Jembatan Merah sulit diketahui secara pasti. Hingga kini, belum ada catatan yang menunjukkan kapan Jembatan Merah Surabaya dibangun pertama kali.

Sekalipun demikian, seturut sejumlah dokumen sejarah, kawasan sekitar Jembatan Merah telah menjadi nadi Kota Surabaya sejak era VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

VOC resmi menguasai Kota Surabaya sejak 1743. Kongsi Perusahaan Dagang Belanda itu berkuasa setelah menerima hibah wilayah dari Raja Mataram Islam, Pakubuwono II.

Menurut Sarkawi B. Husain (2010), pada tahun 1743, Pakubuwono II menyerahkan hak kuasa penuh atas Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, serta Ujung Timur kepada VOC. Penyerahan konsesi terjadi karena sang Raja Jawa terikat dengan VOC di Perjanjian Ponorogo.

Setelah menguasai Surabaya, VOC membangun pusat kota dengan sentuhan Eropa yang dikelilingi tembok benteng di wilayah sekitar Jembatan Merah. Kawasan itu tidak jauh dari pesisir sehingga potensial menjadi jalur niaga.

Handinoto dalam Perkembangan dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870–1940 (1996) memaparkan awalnya VOC membangun loji dan benteng di utara kota tua. Lokasi ini tidak jauh dari kompleks kantor Gubernur Jawa Timur sekarang.

Pemukiman orang-orang Belanda lantas mengembang ke utara hingga terpusat di wilayah dekat Jembatan Merah Surabaya. Kawasan terakhir tumbuh menjadi pusat pemerintahan dan niaga pada era kolonial.

Informasi di atas terkonfirmasi oleh gambar peta Surabaya tahun 1787 dalam buku karya Howard W. Dick, Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000 (2003).

Peta itu menunjukkan bangunan milik orang-orang Belanda berada di pinggiran barat Kali Mas dan tidak jauh dari lokasi Jembatan Merah Surabaya saat ini.