News - Angkutan massal di Jakarta tidak hanya tentang bus berpendingin udara dan tetek bengek kemewahan lainnya. Seabad lebih kota metropolis itu dilalui berbagai moda transportasi, mulai dari trem kuda yang menyisakan ceceran tahi, trem uap yang diskriminatif, hingga Metro Mini yang melaju ugal-ugalan.

Trem pertama melintas di Batavia pada 1869, mengikuti Belanda yang lima tahun lebih awal menggunakannya. Meski berbasis rel, moda transportasi massal ini mula-mula memanfaatkan tenaga kuda yang didatangkan dari Sumba, Sumbawa, Timor, Tapanuli, Priangan, dan Makassar.

Ide untuk mengoperasikan trem datang dari J. Babut du Mares, seorang warga Indo-Eropa. Pemerintah menanggapi serius ide tersebut dan memberikan mandat pada firma Dumler & Co. untuk membangun jalurnya dan mulai dieksekusi pada 10 Agustus 1867.

Pada September 1868, rangkaian gerbong yang diimpor dari Prancis tiba. Pada 20 April 1869, trem kuda yang dikelola Dumler & Co.--kemudian berubah menjadi Bataviasche Tramweg Maatschappij atau BTM--resmi diluncurkan.

Trem berjalan di atas rel selebar 1.188 mm. Setiap trem dikemudikan seorang kusir dan ditarik dua sampai empat ekor kuda. Kapasitas trem terbatas 40 penumpang, dengan ongkos sekali jalan 10 sen. Rute yang ditempuh adalah Amsterdamsche Poort (Pasar Ikan)-Harmoni, Tanah Abang-Harmoni, dan Meester Cornelis (Jatinegara)-Harmoni.

Setelah 14 tahun, trem kuda berhenti beroperasi. Banyaknya tahi kuda di sepanjang jalur rel dan banyaknya kuda yang mati, konon lebih dari 500 ekor, menjadi alasan. Sebagai gantinya, Nederlandsche Indische Tramweg Maatschappij (NITM) mengoperasikan trem uap buatan perusahaan lokomotif asal Jerman, Hohenzollern.

Trem uap banyak digemari warga Eropa karena menerapkan pemisahan kelas. Kelas pertama untuk warga kulit putih dengan ongkos 20 sen, kelas kedua untuk warga timur asing (Cina, Arab, dan India) 10 sen, dan kelas ketiga untuk pribumi 10 sen.

Trem uap mendapat saingan baru ketika Batavia Elektrische Tram Maatschappij (BETM) memperkenalkan trem listrik pada 10 April 1899. Moda transportasi itu dipesan langsung dari Dyle en Becalan, perusahaan lokomotif asal Belgia. Batavia lebih dulu menikmati trem listrik dibanding kota mana pun di Belanda.

Trem listrik awalnya menghubungkan Harmoni-Tanah Abang-Cikini. Hingga 1913, jalur yang dilintasi meliputi Jembatan Merah-Tanah Tinggi-Gunung Sahari, lalu Amsterdamsche Poort (Pasar Ikan) melalui Jacatraweg (Jl. Pangeran Jayakarta), dan Koningsplein (Jl. Medan Merdeka) via Harmoni-Gondangdia.