News - Dari 30 April hingga 2 Mei 1926, Wage Rudolf Supratman hadir dalam Kongres Pemuda I di Gedung Vrijmetselaarsloge (kini gedung Kimia Farma) yang berlokasi di Weltevreden, Batavia.

Seturut Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman (2012), saat itu Supratman hadir sebagai wartawan Sin Po untuk meliput jalannya kongres. Selain mendengar secara langsung pidato-pidato kebangsaan dari para pemuda, di hari terakhir kongres ia menyaksikan perdebatan antara Ketua Kongres, Mohammad Tabrani, Mohammad Yamin, Djamaludin Adinegoro, dan Sanusi Pane.

Tabrani menentang poin terakhir dalam rumusan persatuan dari Yamin yang berbunyi, “bahasa persatuan, bahasa Melayu.” Ia mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Menanggapi itu, Yamin menyebut Tabrani sebagai “tukang ngelamun”. Sebab, saat itu bahasa Indonesia belum ada. Tak tinggal diam, Tabrani membalasnya dengan tegas, jika bahasa Indonesia belum ada, maka harus dilahirkan dalam kongres.

Di tengah perdebatan, Djamaluddin Adinegoro mendukung pendapat Yamin. Tak berselang lama, Sanusi Pane, yang datang terlambat ke kongres, segera masuk ke dalam perdebatan dan mendukung pendapat Tabrani.

“Ibaratkan pertandingan sepakbola sebelum turun minum 2-1 untuk kemenangan Yamin. Setelah Sanusi Pane muncul stand berobah menjadi 2-2. Sebab Sanusi Pane menyetujui saya,” tulis M. Tabrani dikutip dari Harimurti Kridalaksana dalam Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2018).

Mengutip kembali Bambang Sularto (2010), perdebatan itu tak kunjung menemui titik temu. Panitia kongres akhirnya mengambil jalan tengah dengan menangguhkan keputusan akhir kongres dan mengamanatkan untuk merembukkan kembali bahasa persatuan di Kongres Pemuda berikutnya.

Pada 27-28 Oktober 1928, para pemuda kembali berkumpul dalam gelaran Kongres Pemuda II. Hasilnya, bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan.

Tak hanya mendukung Tabrani, Sanusi Pane juga menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini setidaknya tergambar dalam keikutsertaannya di Kongres Bahasa Indonesia di Gedung Habiprojo, Solo, yang berlangsung pada 25-28 Juni 1938.

Dalam acara tersebut, selain menjelaskan tentang sejarah bahasa Indonesia, ia mengusulkan pentingnya pembentukan institut bahasa untuk merawat dan mengembangkan bahasa Indonesia.

"Gagasan besar Sanusi Pane tentang institut bahasa Indonesia itu berkembang menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat ini,” ujar Ketua Balai Bahasa Sumatra Utara, Maryanto, kepada Moyang Kasih Dewi Merdeka dalam Sanusi Pane: Pujangga Pencetus Badan Bahasa (2022).