News - Hujan tidak membuat massa aliansi masyarakat sipil beranjak dari depan Gedung DPR RI pada Selasa siang (6/12/2022). Mereka memprotes anggota dewan dan pemerintah yang ngotot mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU meski ditolak publik karena terdapat sejumlah pasal yang dianggap bermasalah.

Tak hanya di Jakarta. Aksi serupa juga dilakukan di sejumlah daerah. Mereka jengah karena wakil rakyat yang telah dipilih tidak mendengar aspirasi publik. Padahal tuntutan aliansi masyarakat sipil ini jelas, yaitu: menghapus sejumlah pasal kontroversial dalam RKUHP.

Contoh pasal yang tetap bertahan dalam RKUHP hingga diketuk palu menjadi undang-undang adalah Pasal 240 yang mengatur soal penghinaan pemerintah dan lembaga negara. Pasal itu menjadi salah satu kritik yang didesak publik agar dihapuskan karena menjadi ancaman bagi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang kerap memberi kritik terhadap lembaga negara.

Direktur LBH Jakarta --bagian dari koalisi masyarakat sipil--, Citra Referendum menilai, pemerintah dan DPR telah menutup mata dan telinga. Mereka tidak mau mendengar aspirasi rakyat untuk menghapus sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP tersebut.

Citra mengklaim, aksi masyarakat sipil yang menolak kehadiran KUHP baru tidak hanya ada di ibu kota. Namun tersebar dan masif di sejumlah daerah dalam waktu yang sama.

“Harapannya ada di masyarakat, ketika sudah menyatakan protes bersama-sama di berbagai wilayah seharusnya tidak ada alasan untuk pemerintah dan DPR [mengesahkan RKUHP]” kata Citra saat ditemui di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

AKSI TOLAK PENGESAHAN RKUHP

Sejumlah aktivis dari gabungan sejumlah elemen masyarakat membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/12/2022). Mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/tom.

Selain Pasal 240, terdapat Pasal 256 yang juga menjadi kekhawatiran dalam membatasi demokrasi. Pasal ini mengatur unjuk rasa dan melarangnya bila tanpa ada pemberitahuan.

“Perlu ditekankan bahwa pemberitahuan bukan merupakan izin sehingga hanya perlu memberitahu saja ke aparat yang berwenang. Pasal ini jauh lebih kolonial dari hukum buatan kolonial,” kata Citra menambahkan.

Selain dua pasal di atas, masih ada pasal-pasal lain yang dipaksa untuk disahkan dalam RKUHP yang baru. Hal itu menjadi alasan bagi Citra dan kawan-kawan untuk terus menggelar aksi agar suara mereka didengar. Pasal-pasal kontroversial dapat dibaca di link ini.