News - Pemberian insentif fiskal untuk pemerintah daerah (pemda) yang berhasil mengendalikan inflasi dijadikan ajang kepala daerah menambah cuan daerah. Tidak sedikit pemda malah berbuat curang dengan mengakali angka inflasi daerahnya agar terlihat rendah dan menerima insentif tersebut.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengungkapkan, salah satu modus paling baru yang diketahuinya dan kerap digunakan oleh pejabat daerah adalah dengan mendatangi langsung kantor Badan Pusat Statistik (BPS) di daerah masing-masing. Mereka meminta agar angka inflasi dipasang rendah.

Jika BPS tidak mau bekerja sama, pejabat daerah tersebut melakukan cara lain, yakni dengan menggelar operasi pasar atau pasar murah untuk menekan harga barang yang dijual di sana. Cara culas ini dilakukan ketika mereka mengetahui BPS akan melakukan survei harga-harga komoditas di pasar-pasar tertentu.

"Begitu dia tahu BPS mau masuk, cepat-cepat dia buat gerakan pasar murah di daerah itu, supaya harganya turun. Karena BPS kan mengambil data dalam jumlah masif, pasti menggunakan random sampling. Dia tahu random-nya di mana, sampelnya yang mana," jelas Tito dalam acara Anugerah Hari Statistik Nasional (HSN) 2024 yang disiarkan melalui kanal YouTube BPS, Kamis (26/9/2024).

Tito mengatakan, modus tersebut telah diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, saat mendatangi pasar-pasar di daerah, Jokowi kerap menemukan ketimpangan harga antara satu pasar dengan pasar lainnya. Tito lantas menutupi permainan tersebut dari Jokowi dengan menjelaskan bahwa sudah biasa terjadi perbedaan harga di pasar-pasar bahkan yang terletak di daerah yang sama.

"Cuma dalam hati saya, jangan-jangan yang daerah dicek itu yang kepala daerahnya sudah membuat gerakan pasar sebelum presiden datang," kelakarnya.

Cara-cara licik itu ‘mungkin’ dilakukan imbas sikap tegas Kemendagri. Kemendagri tidak segan-segan untuk memecat kepala daerah jika gagal mengendalikan inflasi di daerahnya.

Pada 2023 lalu diketahui penerima insentif fiskal kategori pengendalian inflasi diberikan pemerintah sebanyak 33 daerah per periode. Sementara di tahun ini, daerah penerima bertambah menjadi 50 daerah per periode sehingga peluang daerah untuk mendapatkan alokasi insentif fiskal menjadi lebih besar.

Dari 50 daerah penerima tersebut, 36 daerah di antaranya atau sekitar 72 persen merupakan daerah baru yang sebelumnya belum pernah menerima penghargaan kategori pengendalian inflasi di tahun anggaran 2023.

Untuk nilainya sendiri Dana Insentif Daerah (DID) dari Kementerian Keuangan sebesar Rp6-10 miliar. Anggaran ini, akan diberikan tiga bulan sekali kepada daerah yang sukses menekan angka inflasi dan menjaganya agar tetap stabil.

“Total satu tahun tuh Rp1 triliun yang disiapkan Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani," pungkas Tito.

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat fenomena mengakali inflasi mencerminkan masalah struktural dalam sistem pengumpulan dan pelaporan data di tingkat lokal. Kondisi ini berpotensi tidak tepatnya pengambilan keputusan terkait kebijakan publik di daerah tersebut.

"Kami memahami bahwa pemberian dana insentif daerah dapat memotivasi kepala daerah untuk menekan inflasi, namun fokus yang berlebihan pada hasil angka justru bisa menciptakan dampak negatif," jelas dia kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

RDP Kemendagri, DKPP, Otoritas IKN dengan Komisi II DPR

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengikuti rapat dengar pendapat dengan komisi II DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/6/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Tergoda Insentif Berujung Manipulasi

Kepala daerah dalam hal ini, kata Anwar, mungkin tergoda untuk mencari solusi jangka pendek. Pada akhirnya manipulasi harga sesaat sebelum survei Badan Pusat Statistik (BPS), tanpa menyelesaikan masalah mendasar yang menyebabkan inflasi.

"Insentif yang diberikan hanya berdasarkan data inflasi dan tanpa mempertimbangkan kualitas kebijakan yang dilakukan, bisa menghasilkan strategi yang hanya bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan," kata dia.

Manipulasi data tersebut, kata Anwar, justru dapat berdampak pada kebijakan makroekonomi secara keseluruhan. Ketika pemerintah pusat menerima data inflasi yang tidak akurat, kebijakan fiskal atau moneter yang diterapkan bisa salah sasaran.

Ia mencontohkan, sebuah daerah yang memalsukan laporan inflasi, misalnya daerah mengalami kenaikan harga barang tinggi sementara dilaporkan inflasi rendah, bisa membuat daerah tidak mendapat bantuan rill untuk menyelesaikan masalah di lapangan.

"Hal ini juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional," kata dia.