News - Tasawuf sebagai dimensi spiritual dalam Islam sering kali dipandang kontroversial, memicu perdebatan antara rasionalisme dan mistisisme. Metode ini sering kali diposisikan sebagai lawan dari pendekatan rasional.

Dilatar belakangi berbagai alasan yang berakar dalam sejarah dan perkembangan pemikiran Islam, beberapa kalangan menganggapnya sebagai penghambat kemajuan intelektual. Aspek asketisme dan penolakan terhadap duniawi dalam ajaran tasawuf sering kali disalahartikan sebagai ketidakpedulian terhadap masalah sosial.

Sebelum al-Ghazali, tasawuf sudah ada dalam tradisi Islam, tetapi sering kali dianggap marginal. Namun, al-Ghazali lewat master piece-nya Ihya Ulumuddin, tasawuf mulai mendapatkan legitimasi. Ia mengintegrasikan tasawuf dengan syariat, menekankan bahwa keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Ini memberikan landasan bagi banyak pemikir setelahnya untuk mengeksplorasi tasawuf lebih dalam.

Dalam karya lainnya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menolak beberapa pandangan filosofis yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tasawuf. Dalam konteks modern, pemikirannya kerap menghadapi tantangan baru. Sementara kalangan yang menerimanya melihat ajarannya cukup relevan dalam menjawab krisis spiritual di dunia kontemporer.

Tasawuf dengan berbagai tarekatnya, memiliki pendekatan unik yang dapat memberikan solusi dalam konteks yang lebih luas. Diskursus ini menciptakan ruang bagi perdebatan mengenai bagaimana tasawuf dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya. Jalan ini menawarkan solusi untuk berbagai permasalahan spiritual dan sosial yang dihadapi umat Islam.

Tarekat Idrisiyyah, sebagai salah satu contoh, yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris Ali al-Masyisyi al-Yamlakhi al-Hasani, seorang ulama, ahli hukum, dan sufi terkemuka di masanya. Dia mengajarkan sesuatu yang menggabungkan aspek esoteris dan eksoteris, mengajak setiap muslim untuk mencapai keseimbangan spiritual.

Selain Idrisiyyah, tarekat ini dikenal juga dengan sebutan Al-Khidiriyyah karena berkaitan dengan kisah Nabi Khidir yang kerap memberikan amalan tertentu kepada para mursyid (pembimbing utama).