News - Sejak mulai berkembangnya eksplorasi besar-besaran terhadap lanskap alam dan budaya di Nusantara, para orientalis telah menaruh perhatian yang cukup mapan terhadap Sukabumi. Nama besar seperti naturalis Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), sampai arkeolog Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917), setidaknya pernah mondar-mandir menjelajah daerah di pojok barat wilayah Jawa Barat ini.

Cerita panjang peradaban di Sukabumi setidaknya telah eksis ribuan tahun lalu. Manusia paling awal telah menghuni wilayah selatan aliran Sungai Cimandiri. Menurut hasil penelitian oleh M. Fadhlan S.I. dan Frandus Manurung yang berjudul “Geologi Situs Ciomas di Kabupaten Sukabumi: Kajian Sumber Batuan untuk Bahan Litik” (2022), indikasi peradaban neolitik periode 3000 tahun yang lalu di Sukabumi telah terlacak di wilayah Jampang Tengah.

Para arkeolog menemukan mata panah dan alat beliung yang telah diupam (digosok). Konsentrasi temuan yang kemudian menjadi tanda bengkel alat batu di areal Sukabumi, misalnya di sekitar Situs Ciomas, Bukit Cikadu, dan Panumbangan.

Menjelang periode sejarah, permukiman masyarakat kuno di Sukabumi berpusat di wilayah perbatasan Jawa Barat dan Banten, di sudut barat laut Kabupaten Sukabumi sekarang. Gejala tersebut direkam oleh Haris Sukendar dalam Album Tradisi Megalitik Indonesia (1998) yang menyinggung soal keberadaan situs-situs megalitik monumental di daerah Cikakak. Menhir setinggi hampir 4 meter yang ditemukan di Situs Tugu Gede Cengkuk di Cikakak, menandakan bahwa kawasan ini dahulunya adalah area pemujaan prasejarah yang masif.

Memasuki periode sejarah, kedudukan wilayah Sukabumi ketika itu makin eksplisit diketahui melalui penemuan Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di pinggiran aliran Sungai Cicatih. Menurut Hasan Djafar dkk. dalam Prasasti Batu: Pembacaan Ulang dan Alihaksara I (2016), prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Jayabhupati Jayamanahen ini berisi soal pelarangan penangkapan ikan di sungai yang membatasi suatu daerah suci (kabuyutan) bernama Sanghyang Tapak.

Selanjutnya, indikator Sukabumi sebagai salah satu kabuyutan di Tatar Sunda juga didukung oleh naskah Carita Parahyangan dan Bujangga Manik. Kedua naskah Sunda dari abad ke-16 itu menyebutkan bahwa di masa Hindu-Buddha, daerah Jampang (wilayah selatan Sukabumi) merupakan daerah kabuyutan. Bahkan, salah satu raja dari Kerajaan Galuh yang bernama Bunisora Suradipati dikisahkan menghabiskan masa pensiunnya di Jampang, sehingga ia digelari Batara Guru di Jampang.