News - Keputusannya angkat kaki dari keraton bukan tanpa perhitungan. Cicit yang ia bawa dan hingga remaja berada dalam asuhannya kelak mengobarkan perang yang membuat Belanda kewalahan dan nyaris bangkrut.

Niken Ayu Yuwati atau Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten (atau Kadospaten) adalah permaisuri Hamengku Buwono I, pendiri sekaligus raja pertama Keraton Yogyakarta. Setelah menyingkir ke Tegalrejo, sebuah daerah sekira empat kilometer dari keraton, ia lebih dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo.

Bersama Hamengku Buwono I yang saat itu bergelar Pangeran Mangkubumi, ia turun dalam kancah Perang Giyanti melawan Pakubuwono II. Sesudah Keraton Yogyakarta berdiri, ia menjadi panglima Bregada Langen Kusuma, pasukan elite perempuan pengawal raja. Korps inilah yang membuat Marsekal Herman Willem Daendels tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat mengunjungi keraton pada 1809.

Wanita tangguh kelahiran 1735 itu merupakan putri Kiai Ageng Derpoyudo, seorang ulama dari Majangjati, Sragen. Silsilahnya juga bersambung dengan Kiai Ageng Datuk Sulaiman alias Kiai Sulaiman Bekel Jamus, putra Sultan Abdul Qahir dari Kesultanan Bima.

Ratu Ageng Tegalrejo adalah pemeluk Islam yang taat. Ia bahkan terampil membaca naskah keislaman berbahasa Jawa dan Arab.

Dalam Babad Dipanagara, sebagaimana dikutip Oman Fathurahman dalam “Female Indonesian Sufis: Shattariya Murids in the 18th and 19th Centuries in Java” (2018:55), Pangeran Diponegoro mengaku berutang budi kepada nenek buyutnya yang telah mendidiknya dengan nilai-nilai Islam dan praktik spiritual Jawa.

Caranya mendidik diakui oleh sang pangeran penuh kasih sayang, meski kadang “suka membuat saya ketakutan ketika mereka memberi perintah.”

Seturut Peter Carey dalam “Satria and Santri; Some Notes on the Relationship between Diponegoro’s Kraton and Religious Supporters during the Java War (1825-30)” (1987:35), Ratu Ageng Tegalrejo, juga Pangeran Diponegoro, adalah pengikut Syattariyah.

Syattariyah adalah tarekat yang didirikan oleh Syekh Sirajuddin Abdullah asy-Syattar dari India. Setelah populer di Makkah, persaudaraan kaum sufi itu dibawa ke Nusantara oleh Syekh Abdurrauf as-Singkili.

Di tangan salah satu muridnya yakni Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Syattariyah menyebar di Tanah Jawa, termasuk di lingkungan Keraton Yogyakarta. Kiai Muhammad Kastuba dari Pesantren Alang-Alang Ombo, Bagelen, disebut-sebut sebagai ulama yang membaiat Ratu Ageng Tegalrejo.