News - Selama hampir 10 tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Joko Widodo “sukses” mengacak-ngacak keberlangsungan demokrasi di Tanah Air lewat konsep politik akomodatif. Hal itu dilakukan dengan cara merangkul lawan politik atau orang-orang yang berseberangan dengannya dan kemudian membuat koalisi pendukung nan gemuk.
Tujuannya terang belaka: memaksimalkan dukungan atas kebijakan-kebijakannya. Dengan memperkecil kekuatan oposisi, pembahasan atau evaluasi kebijakan pemerintah di DPR pun akan lebih mulus dan tidak banyak terhambat.
Pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah melakukan langkah politik akomodatif itu sejak periode pertama kepresidenannya (2014-2109). Di awal masa pemerintahan, Jokowi hanya didukung empat partai koalisi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hanura.
Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi lalu bertambah gemuk pada paruh kedua 2015. Beberapa partai yang sekira satu tahun sebelumnya menyatakan diri sebagai oposisi, berhasil dirangkul satu per satu untuk masuk ke pemerintahannya.
Itu dimulai dari bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke pemerintahan pada September 2015. Langkah PAN itu lantas diikuti Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) pada Januari 2016. Terakhir, pada 16 Mei 2016, Partai Golongan Karya (Golkar) secara resmi menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan berbalik mendukung Jokowi.
Tiga partai tersebut berhasil menambah kekuatan politik pemerintah Jokowi di DPR. Hadirnya Golkar yang memiliki perolehan kursi terbesar di DPR saat itu bisa mendongkrak keberpihakan parlemen pada pemerintah. Dengan tambahan tersebut, total dukungan politik terhadap Jokowi meningkat jadi 69,2 persen kursi DPR. Padahal, saat awal dilantik sebagai presiden, Jokowi hanya didukung 37 persen kursi.
Di periode kedua kepresidenannya, Jokowi mengulang hal serupa. Tiga hari setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia atau tepatnya pada 23 Oktober 2019, Jokowi mengumumkan nama-nama menterinya kepada publik.
Setiap partai koalisi yang duduk di parlemen mendapatkan posisi menteri. Bukan hanya koalisi, oposisi pun turutmendapat kursi menteri yang bahkan lebih banyak dari partai koalisinya sendiri.
Terkini Lainnya
Karpet Merah untuk Kelompok Kepentingan
Fokus Hasil, Abai Proses
Artikel Terkait
Jokowi Resmi Lantik Gus Ipul Jadi Mensos Gantikan Risma
Tinjau Pasar di Deli Serdang, Jokowi: Harga Pangan Baik
Jokowi Minta Pemda Rawat Venue PON yang Habiskan Biaya Rp811 M
Soal Reshuffle Kabinet, Hasan Nasbi: Itu Hak Prerogatif Presiden
Populer
Pengetahuan Vernakular, Sumber Jawaban Persoalan Zaman
Basuki: Jangan Jadikan Proyek Tanggul Laut Raksasa Septic Tank
Tahanan KPK yang Ogah Bayar Pungli Diperlakuan Tak Manusiawi
Menilik Alternatif Susu Ikan dalam Program Makan Gratis Prabowo
Pemerintah Resmi Izinkan Ekspor Tanaman Kratom
KPK Geledah Rumah Dinas Kakak Cak Imin Terkait Kasus Dana Hibah
Kisah Kiai Cokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro
Obligor BLBI Marimutu Sinivasan Dicegah saat Hendak ke Malaysia
Flash News
Soal Anggota Teror Kader Gerindra di Sulsel, Maruli: Kita Tegas
Pramono Anung Santai Mensos Pengganti Risma Bukan Kader PDIP
Heru Budi Pastikan Program Normalisasi Ciliwung Tetap Berjalan
Polda Bali Pecat 9 Polisi yang Terlibat Tindak Pidana Berat
Gus Ipul Sebut Konflik PKB vs PBNU Tak Pengaruhi Kinerja Kabinet
Pansus Haji DPR Bakal Periksa Menag Yaqut Pekan Ini
F-PDIP DKI Rekomendasikan Heru & Sekda sebagai Pj Gubernur
Pansus DPR Beberkan Bukti Indikasi Penyimpangan Kuota Haji 2024
Peta Kerawanan Pilkada Solo 2024 yang Dirilis Bawaslu Surakarta
Sosok Sarah Friedland Sutradara Yahudi Kecam Genosida Israel
Prediksi PSS vs Borneo Liga 1 2024-25: Tren Sempurna Pesut Etam
Kisah Historis Nenek Maarten Paes Wanita Belanda Lahir di Kediri
Profil Mendes Abdul Halim Iskandar Kakak Cak Imin, Apa Kasusnya?
Live Streaming PSM vs Persib Liga 1 2024-25 & Jam Tayang TV
Update Rank FIFA Timnas Indonesia Usai Matchday September 2024