News - Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan menginspirasi pembaca melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau individu lain. Jika merasakan gejala gangguan kejiwaan, atau muncul kecenderungan berupa melukai diri dan individu lain, segera konsultasikan kondisi Anda ke pihak-pihak profesional yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

Kasus bunuh diri ajudan Wakapolres Sorong, NRN, menambah catatan persoalan institusi kepolisian. Polres Sorong menyatakan NRN diduga bunuh diri lantaran masalah asmara. Meski kasus bunuh diri anggota polisi kerap di latar belakangi masalah pribadi, maraknya kejadian ini harus menjadi alarm pembinaan sumber daya manusia di tubuh Polri.

Polisi juga manusia yang memiliki keterbatasan dan persoalan. Kesejahteraan angota polisi sejatinya harus meliputi jaminan pembinaan kesehatan mental mereka. Bukan tanpa sebab, anggota polisi harus turun ke masyarakat untuk bertugas mengayomi dan melindungi. Tentu diperlukan mental yang sehat agar tidak terjadi ekses negatif dalam bertugas.

Peneliti ISESS bidang kepolisian, Bambang Rukminto, menilai belum ada penelitian khusus tingkat bunuh diri terhadap anggota polisi di Indonesia. Namun, potensi masalah kesehatan mental tentu turut hadir di institusi kepolisian dan perlu menjadi perhatian semua pihak.

“Problem mental anggota kepolisian saat ini bukan hanya sekedar beban kerja, tetapi juga beban sosial akibat pandangan masyarakat pada citra dan reputasi kepolisian,” kata Bambang kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2024).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Selain itu, Sistem Registrasi Sampel oleh Badan Litbangkes tahun 2016 mencatat, data bunuh diri per tahun ada sebanyak 1.800 orang atau setiap hari 5 orang melakukan bunuh diri. Lebih lanjut, 47,7 persen korban bunuh diri ada pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Bambang menambahkan, data di atas turut mencatat rasio jumlah psikiater dengan potensi gangguan jiwa yang dialami masyarakat, yakni 1 banding 250.000 jiwa. Hal itu, kata dia, juga bisa jadi gambaran umum pada rasio psikiater di institusi kepolisian dibanding anggota polisi.

“Dengan rasio yang minimalis tersebut tentu tak bisa diharapkan bisa berbuat banyak dalam menangani masalah kesehatan mental anggota polisi,” ujar Bambang.