News - Nizam (bukan nama sebenarnya) menghela napas saat disinggung mengenai beban potongan aplikasi dari aplikator tempatnya bekerja. Pengemudi ojek online (ojol) itu bahkan tidak mengetahui pasti secara hitungan matematikanya. Sebab penghasilan ia dapat dengan yang dibayarkan oleh konsumen tak selalu sama. Potongannya seringkali berubah-ubah.

Ia mengatakan pihak aplikator kadang-kadang memotong biaya aplikasi lebih dari 20 persen. Padahal dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 mengenai Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, batas minimal pungutan adalah 20 persen.

“Ini yang kadang teman-teman tuh bingung, [fakta] di lapangan beban potongan aplikasi itu bisa sampai 30 persen,” ujar pria asal Jakarta Timur tersebut kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).

Besaran potongan tersebut, kata Nizam, jelas berdampak pada pendapatan yang dihasilkan dirinya dan teman-teman pengemudi ojol lainnya. Terlebih lagi, biaya potongan tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan lainnya seperti BPJS Kesehatan, insentif atau bonus, hingga Tunjangan Hari Raya (THR).

“Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula,” keluhnya.

Ketua Umum Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, Igun Wicaksono, mengatakan potongan aplikasi yang diberikan oleh aplikator memang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Apalagi, kata dia, sampai saat ini pemerintah sebagai regulator tidak bisa berbuat apapun dan hanya mengacuhkan mengenai hal potongan aplikasi yang dilanggar oleh aplikator.

“Apakah pemerintah hanya urusi bagian keuntungan dari pihak aplikator? sehingga rakyatnya yang menjadi mitra para aplikator ini hanya dijadikan korban dari arogansi perusahaan aplikator untuk mengeruk keuntungan dari para driver ojol nya sebanyak-banyaknya,” kata Igun kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).

Igun mengatakan, pemerintah terkesan tidak mau menghiraukan pendapatan driver ojol dari pelanggannya diambil paksa dalam bentuk potongan aplikasi melebihi regulasi yang ada. Bahkan berdasarkan aduan diterima Garda, ada mitra pengemudi yang diambil (dipotong) sepihak hingga 40 persen tanpa persetujuan dari mitra maupun dari regulator.

“Maka apabila praktik pungli (potongan liar) yang diterapkan oleh oknum perusahaan aplikator ini didiamkan terus menerus, kami yakin para mitra akan melakukan perlawanan masif kepada pihak aplikator dan pemerintah sebagai regulator yang tidak bisa bertindak apapun,” jelas dia.

Karena, lanjut Igun, yang terjadi saat ini driver makin kesulitan membayar tunggakan kredit sepeda motornya. Terlebih lagi sepeda motor driver ojol banyak yang tidak bisa diperbaiki ataupun dirawat dengan baik karena uang hasil jerih payahnya diambil paksa melebihi regulasi.

“Semua dibebankan ke driver alih-alih untuk dikembalikan ke driver dan untuk kesejahteraan driver, pertanyaan kami driver yang mana?” ujarnya mempertanyakan.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melihat potongan maksimal 20 persen itu sebenarnya adalah total yang dibayarkan oleh konsumen atau dari total tarif perjalanan saja. Karena jika dibedah dari tarif yang dibayarkan oleh konsumen menurutnya terdapat jenis.

Pertama adalah tarif perjalanan. Kedua platform fee yang besarannya tidak menentu. Ketiga adalah safe trip fee (semacam asuransi perjalanan) sebesar Rp1.000 per perjalanan.

Sedangkan dari aturan, 20 persen diambil dari tarif perjalanan bukan dari semua yang dibebankan ke konsumen. Maka, kata Huda ini yang sering salah kaprah di mana secara perhitungan beban konsumen, biaya aplikasi yang dibayarkan lebih dari 20 persen.

"Terlebih ketika konsumen membayarkan secara uang tunai yang akan terlihat membebani driver dengan potongan yang harus dibayarkan jadi besar," kata Huda kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).