News - Sebagai negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, kemandirian pangan selayaknya menjadi prioritas utama Indonesia. Namun kenyataannya, kita masih ketergantungan impor. Lebih ironis lagi, apresiasi terhadap profesi petani juga rendah.

Kemandirian pangan bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga soal kedaulatan. Bila kita mampu memproduksi sebagian besar kebutuhan pangan, tentu risiko terhadap gangguan rantai pasok global dapat diminimalkan.

Sebagai contoh, saat pandemi Covid-19, banyak negara mengalami kelangkaan pangan akibat distribusi terbatas. Bila kita memiliki kemandirian pangan, kita tidak akan tergantung dengan pihak luar.

Kita juga akan terbebas dari risiko kenaikan harga akibat fluktuasi pasar global, sehingga para ibu tak perlu cemas menghadapi lonjakan harga pangan di setiap momen penting seperti Natal, Tahun Baru, Ramadan, dan Idulfitri.

Dengan kemandirian pangan, petani bisa punya penghasilan yang layak, tidak pusing saat panen raya tiba dan harga jualnya stabil. Mereka bisa fokus pada produksi tanpa khawatir menghadapi persaingan dengan produk impor.

Bagaimana cara mewujudkan kemandirian pangan? Kuncinya tergantung pada sejauh mana komitmen di antara pembuat kebijakan (political will). Dan seberapa serius upaya pemerintah untuk memberdayakan petani sebagai garda depan ketahanan pangan nasional. Keseriusan tersebut menjadi modal awal untuk mengatasi berbagai tantangan di pertanian.

Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Agribisnis UGM, Masyhuri, dalam diskusi daring bertajuk "Membangun Ketahanan Pangan Nasional: Masalah, Tantangan, dan Kebijakannya" pada Sabtu (14/12/2024) mengatakan, kemiskinan di kalangan petani menjadi tantangan besar ketahanan pangan di Indonesia.

Sangat miris, sebagai negara agraris, kehidupan petani justru masih jauh dari kata sejahtera. Menurut Masyhuri, banyak petani dan nelayan yang hidup dalam garis kemiskinan, meskipun mereka sudah bekerja keras di lahan dan laut,

Hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mengungkapkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil hanya Rp5,23 juta per tahun atau hanya Rp435,8 ribu per bulan. Untuk petani skala besar, rata-rata pendapatan bersihnya Rp 22,98 juta per tahun atau Rp1,91 juta per bulan.

Artinya, pendapatan mayoritas petani masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Meski mereka bekerja keras memproduksi pangan untuk memastikan orang tidak kelaparan, ironisnya, justru merekalah yang sering mengalami kesulitan. Padahal, petani juga memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara.

Laporan Komisi IV DPR RI tahun 2021 menyebutkan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu penopang utama perekonomian Indonesia, dengan kontribusi rata-rata 13,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang 2011-2019. Sumbangan sektor ini menjadi yang terbesar kedua setelah industri pengolahan.

Pada tahun-tahun berikutnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tetap signifikan, meski kinerjanya berfluktuasi. Namun sayangnya, hasil pertanian domestik belum mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Banyak bahan pangan, seperti jagung, kedelai, kacang tanah, ketela pohon, bawang, gandum hingga beras masih diimpor dari negara lain. Impor pangan kita juga terus melonjak dari 2 juta ton di tahun 2008 menjadi 10,3 juta ton di tahun 2023.

Bahkan impor beras menunjukkan tren meningkat. Data BPS periode 2017–2023 mencatat lonjakan signifikan, yaitu dari 305,27 ribu ton di tahun 2017 menjadi 3,062 juta ton di tahun 2023. Hingga November tahun 2024, impor juga telah mencapai 3,85 juta ton.

Meski bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan, ketergantungan pada impor dalam jangka panjang akan mengancam kemandirian pangan yang merupakan fondasi utama bagi stabilitas bangsa.