News - Ridwan, 26 tahun, terpaksa harus bolos Salat Jumat di masjid pada pertengahan Juni lalu. Sudah bersiap ke masjid, tiba-tiba telepon rumahnya berdering. Tidak biasa, pikir dia, jarang ada yang masih menelepon lewat perangkat lawas itu. Ketika diangkat, suara wanita dengan nada ramah khas seorang call center menyambut telinga Ridwan.

Wanita itu mengaku dari Telkomsel, lantas mengkonfirmasi nama lengkap Ridwan. Sejurus kemudian, nada ramah dari wanita di ujung telepon tersebut berubah serius. Kata wanita itu, identitas Ridwan sudah disalahgunakan oleh pihak ketiga dan menunggak bayaran telepon hingga puluhan juta rupiah.

Ridwan, pria asal Kabupaten Bogor yang sehari-hari bekerja sebagai pengusaha konveksi, itu pun bingung bukan kepalang. Wanita yang mengaku pihak provider itu berkata: Ridwan kemungkinan terlibat kasus penunggakan tagihan bersama seseorang di Sulawesi Utara (Sulut).

Keheranan Ridwan makin menjadi-jadi sebab dia tak punya kerabat atau kenalan satu pun di Sulut. Menjejakkan kaki di sana pun tak pernah seumur-umur. Di tengah kebingungan itu, wanita tersebut meminta Ridwan berbicara langsung dengan pihak Kepolisian Daerah Sulut yang disebut sudah menunggu berbicara dengannya.

“Orang ngaku cs Telkomsel arahkan suruh ngomong langsung ke polisinya,” tutur Ridwan ditemui Tirto di kediamannya, Rabu (17/7/2024).

Ridwan lantas berbicara dengan orang yang mengaku polisi dari Polda Sulut itu. Orang yang mengaku polisi itu menyebut bahwa namanya, Iptu Ivan Fajaranda. Ridwan diminta pindah ke Telegram untuk menghubungi akun @pol334455 dan @ivan6410.

Di Telegram, orang yang mengaku sebagai polisi itu minta berbincang lewat panggilan video (video call). Untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar polisi, sebut Ridwan, Perbincangan mereka berubah menjadi semacam interogasi secara daring.

Ridwan ditanya data pribadi lengkap. Nama orang tua, status perkawinan di KTP, alamat, menabung di bank mana, saldo terakhir rekening hingga NIK. Semua dibeberkan Ridwan karena panik dan ada upaya intimidasi bahwa dia terlibat perkara serius.

“Memang yang bahaya nama ibu kandung, nah itu disebut semua. Itu katanya buat ngecek data bener atau tidak,” ucap Ridwan.

Setelah menyerahkan identitas, kata Ridwan, dia dituduh terkena tindak pidana pencucian uang (TPPU) bersama seseorang bernama Melinda. TPPU itu sendiri disebut pria yang mengaku polisi itu terkait dengan jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Saat itu, Ridwan sadar bahwa orang yang mengaku polisi itu sedang melakukan percobaan penipuan dan langsung memutus panggilan video. Kendati demikian, pelaku penipuan terus melakukan panggilan kembali. Dia bahkan menunjukkan surat penangkapan untuk Ridwan dengan empat nama penyidik dari pangkat AKBP hingga Iptu.

Ilustrasi SMS Penipuan

Ilustrasi SMS Penipuan. FOTO/iStockphoto

Diakui Ridwan, dia baru sadar sedang terjebak penipuan karena tuduhan kepadanya tidak masuk akal. Penipu yang mengaku sebagai polisi itu juga menjamin ‘urusan akan beres’ jika Ridwan kooperatif. Meski sudah memblokir akun telegram penipu tersebut, Ridwan khawatir karena kepalang memberikan data pribadi lengkap.

“Saya yakinnya karena ya emang dia nggak minta nyebutin nomor rekening saya. Saya juga blokir nomor telegram itu, saya juga langsung telepon bank untuk blokir M-banking,” ujar Ridwan.

Ridwan sempat menangkap layar ponselnya ketika melakukan panggilan video dengan penipu yang mengaku polisi dari Polda Sulut itu. Gambar yang diperlihatkan kepada Tirto, seseorang yang mengaku bernama Ivan tersebut memakai seragam polisi lengkap.

Pelaku duduk sendirian di sebuah ruangan semacam kantor. Di belakangnya, ada poster berlogo Polri dan Polda Sulut dengan latar belakang putih tertempel di tembok.

Nasib serupa turut dialami penulis bernama Nanda pada 16 Juli 2024. Dirinya dihubungi pertama oleh nomor mengaku dari CS Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas kasus gagal bayar kartu kredit senilai Rp28.300.000 sehingga digugat Bank BCA. Pelaku meyakinkan Nanda karena menyebutkan nomor KTP yang memang sesuai dengan miliknya.

Nanda menyangkal punya tunggakan kartu kredit, terlebih pelaku sempat keliru menyebut alamat rumahnya. Namun, pelaku menyatakan bahwa Nanda merupakan korban pencurian data pribadi untuk pengajuan kartu kredit dan harus melaporkan kepada kepolisian secara otomatis.

“Komunikasi berlangsung alot dengan orang yang mengaku polisi karena saya diminta mengirimkan foto KTP, namun saya khawatir penipuan. Saya habis itu beralih ke videocall dari WA untuk diyakinkan oleh pelaku. Saat itu nomor pelaku pakai id Bareskrim, foto profilnya juga logo Bareskrim,” ungkap Nanda.

Pelaku, kata Nanda, mengaku sebagai AKBP Hadi dari lantai 8 Bareskrim Polri. Nanda meminta pelaporan dan pemeriksaan dilakukan langsung di Bareskrim. Namun ditolak oleh pelaku dengan alasan harus membawa salinan dari PN Jakpus atas gugatan Bank BCA.

Di dalam percakapan itu, Nanda memberikan identitas lengkap sebab diyakinkan untuk syarat pemeriksaan awal. Nanda sadar terjerat penipuan setelah dinyatakan sebagai pelaku TPPU atas TPPO yang dilakukan seseorang. Setelah peristiwa ini, dia langsung membuat laporan ke Polda Metro Jaya.

“Petugas menginformasikan untuk mengabarkan kembali jika terjadi kerugian setelah pengambilan data. Sejauh ini polisi mengaku siap ikut mengawal kasus ini,” tutur Nanda.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan Polri atas dua kasus dugaan penipuan yang mencatut institusi mereka. Meski kasus serupa ternyata banyak terjadi, polisi mengaku belum dapat menindaklanjuti. Pihak kepolisian meminta agar penjelasan mereka tidak dikutip di dalam berita.