News - Di sepanjang hidupnya yang cukup panjang hingga 80 tahun lamanya, Sayuti Melik kerap merasakan jadi pesakitan. Dari jeruji besi kolonial Belanda sampai dibuang ke Boven Digul, dipenjara di Singapura, ditangkap militer Jepang, bahkan dibui pemerintah negaranya sendiri setelah Indonesia merdeka.

Meski begitu, Sayuti Melik mampu bertahan kendati diterpa gelombang perubahan zaman yang sepertinya selalu tidak ramah terhadapnya. Ia baru merasakan hidup tenang saat rezim Orde Baru tiba. Sempat menjadi anggota DPR/MPR dari partai penguasa, Golkar, hingga akhirnya wafat di ibukota pada 27 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun silam.

Anak Lurah Penentang Penjajah

Dari pelosok Yogyakarta Sayuti Melik berasal. Ia dilahirkan pada 25 November 1908, terpaut beberapa bulan dari kelahiran Boedi Oetomo yang disebut-sebut sebagai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia.

Sayuti Melik adalah putra Partoprawito alias Abdul Mu′in, Kepala Desa Kadilobo di Sleman, Yogyakarta. Ayahnya inilah, seperti pernah dilaporkan majalah Tempo (Vol. 9, 1989), yang mengajarkan kepada Sayuti Melik tentang nasionalisme. Ia melihat langsung sang ayah berani menentang kebijakan Belanda yang memakai paksa sawah milik rakyat.

Partoprawito ternyata bukan lurah biasa. Ia juga seorang pokrol yang berperan layaknya pengacara bagi kaum tani di daerahnya yang ditindas perusahaan-perusahaan perkebunan milik orang Eropa atau pemerintah kolonial, termasuk saat membela kepentingan petani pribumi atas sengketa tanah terkait penanaman tembakau.

Maka tidak heran jika nantinya Sayuti Melik tumbuh menjadi seorang yang bernyali tinggi menentang ketidakadilan. Tidak peduli siapa si penindas, baik orang asing maupun sebangsanya sendiri, Sayuti Melik siap menghardik, lewat tulisan-tulisannya yang memang mampu mencekik, juga turun langsung ke ranah publik.

Tertarik ke Kiri

Sejak belia, Sayuti Melik sudah berminat pada isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku, koran, juga mengikuti acara diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh. Pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, menjadi salah satu sosok panutannya saat itu. Terlebih, jarak rumahnya dengan markas Muhammadiyah di Kauman tidak terlalu jauh.

Seiring daya pikirnya yang kian kritis, Sayuti Melik mulai jenuh dengan ide-ide Ahmad Dahlan yang dianggapnya kurang menggigit.

“Lama-kelamaan saya tidak tertarik kepada Kyai Dahlan, karena menurut saya dia kurang progresif-revolusioner. Akhirnya saya tinggalkan Kyai Dahlan, dan saya berguru kepada Haji Misbach,” ucapnya seperti dikutip Solichin Salam dalam Wajah-wajah Nasional (1990: 173).